#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - Hari itu kantor terasa seperti ruangan tanpa oksigen. Pak Ade, bos kami, baru saja mengetuk meja rapat dengan suara keras. Tangannya gemetar menahan kesal. Laporan bulanan yang kubuat kembali dianggap tidak memenuhi standar “sempurnanya”.
“Apa susahnya fokus?!” katanya lantang, menatapku seolah aku adalah masalah utama perusahaan.
Dadaku panas. Aku ingin menjelaskan, tapi kalimatku ditelan suasana yang sudah penuh amarah.
Rekan-rekan kerja hanya menunduk. Beberapa menghela napas panjang, mungkin karena ini bukan pertama kalinya.
Selesai rapat, aku duduk di meja kerjaku sambil menatap file yang sebenarnya sudah kukerjakan dengan lembur tiga malam berturut-turut.
Aku lelah bukan karena pekerjaannya, tapi karena merasa tidak pernah cukup di mata seseorang yang memegang kuasa.
Namun hari itu juga, sesuatu mengubah semuanya.
Saat berjalan pulang, aku melihat Pak Ade duduk sendirian di sudut kantin kantor, wajahnya basah. Bukan keringat, tapi air mata.
Aku ragu menghampirinya, tapi ia justru memanggilku terlebih dulu.
“Kamu tahu, saya… sering marah bukan karena laporannya jelek,” katanya pelan. “Saya takut kehilangan jabatan. Takut terlihat lemah. Takut dianggap tidak mampu memimpin.”
Aku terdiam. Tak pernah kubayangkan atasan sekeras itu, rapuh seperti itu.
Dengan suara bergetar ia melanjutkan,
“Dulu saya mengejar jabatan sampai lupa keluarga. Sekarang, bahkan rumah terasa lebih asing dari kantor. Saya pikir jabatan membuat bahagia. Nyatanya, saya justru kehilangan banyak hal.”
Ada jeda panjang.
Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi manusia di balik setiap bentakan yang selama ini kuterima.
“Apa kamu membenci saya?” tanya Pak Ade tiba-tiba.
Pertanyaan itu buatku tercekat.
“Aku tidak membenci, Pak,” jawabku. “Aku hanya… terluka.”
Ia mengangguk.
“Kita sama,” katanya lirih. “Tapi saya ingin berubah.”
Entah kenapa, kata-katanya menyentuhku lebih dalam daripada semua kemarahannya selama ini.
Ternyata bukan aku satu-satunya yang bergumul. Bukan aku satu-satunya yang pernah merasa tidak cukup.
Dan saat aku pulang malam itu, langkahku terasa lebih ringan.
Bahwa manusia tanpa jabatan sekalipun, tetap punya luka yang perlu disembuhkan.
Keesokan harinya, Pak Ade membuka rapat dengan nada yang berbeda.
Tidak ada meja yang diketuk.
Tidak ada teriakan.
Hanya satu kalimat, “Saya ingin belajar menjadi pemimpin, bukan penguasa. Mulai hari ini, mari kita perbaiki bersama.”
Ruangan itu hening.
Beberapa rekan bahkan menatapku dengan bingung.
Tapi aku tersenyum kecil, mungkin untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Dan hari itu aku belajar sesuatu, Kita tidak pernah tahu luka apa yang menumbuhkan kemarahan seseorang. Terkadang, mereka yang terlihat paling kuat, sedang berjuang sendirian dalam hati.
Bahagia bukan tentang jabatan, bukan tentang siapa yang lebih tinggi atau siapa yang memerintah.
Bahagia adalah ketika kita bisa menjadi manusia yang jujur pada luka sendiri dan mau berubah.
Ketika kita memilih untuk memperbaiki, bukan menyalahkan.
Ketika kita ingat bahwa di balik setiap peran, ada hati yang juga ingin dimengerti.
Mari kita mulai melihat satu sama lain bukan hanya sebagai atasan atau bawahan, tetapi sebagai manusia.
Mari kita berhenti menumpuk luka, dan mulai belajar mengobati dari dalam.
Mari kita jadikan tempat kerja sebagai ruang bertumbuh, bukan medan perang ego.
“Kekuatan terbesar seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk memahami dirinya sendiri.” — John C. Maxwell

