Rabu, H / 19 November 2025

Dikejar Waktu, Ditinggal Bahagia

Selasa 18 Nov 2025 22:47 WIB

Author :Hary Kuswanto

Ilustrasi

Foto: freepik

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Aku masih ingat pagi itu, lampu-lampu di kantor belum sepenuhnya menyala, tapi suara langkah sepatu Bu Uli, manajerku, sudah terdengar seperti alarm bahaya yang memecah keheningan lantai empat. Aku baru saja meletakkan tas ketika suaranya menyerang tanpa aba-aba.


“Laporan tender itu mana? Jangan bilang kamu belum selesai.”


Aku menelan ludah. Sudah empat hari aku lembur, bahkan semalam hanya tidur dua jam. Rasanya seperti dikejar waktu dan waktu itu bukan hanya berlari, tapi menendang punggungku setiap detiknya.


“Saya… tinggal sedikit, Bu. Siang ini selesai.”


“Siang? Kamu pikir kompetitor nunggu kamu tidur dulu?” ia mendengus.


Aku tahu kalimat itu memicu amarah dalam diriku, tapi aku menahannya. Aku butuh stabil. Aku butuh waras. Aku butuh tetap manusia.


Siangnya, aku melihat hal yang membuat dadaku panas dan dingin secara bersamaan. Bu Uli tertawa bahagia di pantry, memegang tiket trip ke Maldives. “Akhirnya libur! Tinggal tim yang beresin semuanya,” katanya sambil berpose dengan rekan dekatnya.


Tim. Itu berarti aku.


Aku yang tak tidur.

Aku yang dikejar deadline.

Aku yang ditinggal bahagia.


Ada rasa ingin meledak. Tapi anehnya, justru dadaku terasa kosong. Seperti aku menonton hidup orang lain dalam tubuhku sendiri.


Sore hari sebelum ia pergi, Bu Uli memanggilku. “Tolong ya, proyek ini jangan sampai gagal. Semua ada di kamu.”


Hanya itu. Tanpa apresiasi, tanpa terima kasih. Hanya tanggung jawab yang makin berat, dilempar seperti batu besar.


Tapi aku mengangguk. “Siap, Bu.”


Karena melawan tidak menyelesaikan apa pun. Dan resign bukan solusi instan ketika niatku adalah bertumbuh, bukan kabur.


Malam itu aku bekerja sendirian di kantor. Lampu-lampu mati kecuali di mejaku. Di luar jendela, kota seakan bergerak lebih lambat daripada degup jantungku.


Jam 10 malam aku sempat berhenti dan menatap pantulan wajahku, mata cekung, rambut kusut, tapi ada sesuatu yang belum mati di sana, ketangguhan.


Saat itu aku sadar, masalahku bukan Bu Uli. Masalahku adalah cara aku memaknai tekanan yang ia berikan.


Ia memang tidak berubah. Tapi akulah yang bisa memilih.


Tetap jadi korban keadaan, atau bangkit jadi pemilik hidupku sendiri.


Hari-hari berikutnya aku mulai bekerja lebih terstruktur. Aku membuat jadwal, berbagi tugas dengan tim kecil yang percaya padaku, dan untuk pertama kalinya aku mulai bilang “tidak” ketika permintaan tambahan sudah melampaui batas wajar. Bukan pemberontakan, tapi batas sehat.


Tidak ada drama. Tidak ada konfrontasi. Hanya kedewasaan yang tumbuh perlahan.


Ketika Bu Uli kembali dari liburan, ia terkejut melihat laporan tender bukan hanya selesai, tapi presentasinya rapi dan menang kompetisi internal.


“Bagus… juga kamu ya,” katanya dengan nada yang sulit diterjemahkan.


Aku tersenyum. “Terima kasih, Bu.”


Kalimat sederhana, tapi kali ini aku yang menguasai diriku, bukan rasa cemas, bukan kemarahan.


Malam itu, pulang ke rumah, aku tak merasa lelah walau tubuhku remuk. Justru ada kedamaian aneh. Seperti aku telah berdamai dengan badai.


Aku akhirnya paham…


Ada orang yang akan meninggalkan kita tersesak dengan pekerjaan sementara mereka menikmati liburan. Ada atasan yang tidak akan pernah peduli. Ada situasi yang tidak bisa diubah.


Tapi selalu ada satu hal yang tetap bisa kita kendalikan, Cara kita memilih menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari. Dan ternyata… itu lebih membebaskan daripada semua perlawanan.


Tidak semua tekanan dari atasan harus dilawan, sebagian cukup diolah menjadi energi untuk bertumbuh. Kita tidak bisa mengontrol perilaku orang lain, tetapi kita bisa mengontrol respons dan batas sehat kita. 


Kebahagiaan bukan datang dari pengakuan atasan, tetapi dari keberhasilan membuktikan pada diri sendiri bahwa kita mampu.


Mari kita berhenti menjadi korban lingkungan kerja.


Mari kita belajar membangun batas, mengambil kendali, dan melangkah dengan kepala tegak, dengan marah yang tidak meledak, tapi melebur menjadi kedewasaan.


"Kekuatan terbesar seseorang bukan terletak pada kemampuannya mengalahkan orang lain, tetapi menaklukkan dirinya sendiri.” — Mahatma Gandhi


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA