Rabu, H / 19 November 2025

Mengenali Luka Sendiri

Minggu 16 Nov 2025 20:52 WIB

Author :Hary Kuswanto

Tangkapan Layar

Foto: Dokumen Pribadi

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Aku tidak pernah menyangka bahwa sebuah ruangan rapat berukuran delapan kali delapan meter bisa terasa seperti arena tinju. Setiap kali pintu ruang itu terbuka, jantungku otomatis mengetuk lebih cepat dari biasanya. Bukan karena presentasi yang harus kusampaikan, tapi karena seseorang yang duduk di ujung meja, bossku, orang yang suaranya bisa menjatuhkan mental siapa saja hanya dengan tiga kalimat.


Hari itu, aku membawa laporan yang kususun selama seminggu tanpa tidur cukup. Tanganku sedikit bergetar ketika memberikan lembaran print out kepadanya. Ia membolak-baliknya hanya lima detik, lalu menatapku, tatapan yang seperti senter yang diarahkan ke wajah tersangka.


“Ini… apa?” suaranya tajam.

“Laporan, Pak. Data revis—”

“Revisi? Kamu menyebut ini revisi? Ini tidak layak dibaca!”


Aku menelan ludah. Ada sesuatu yang menegang di dadaku. Panas. Sakit. Tapi aku diam.


Rekan-rekan lain menunduk, pura-pura sibuk melihat laptop. Seperti biasa, tak ada yang berani ikut bicara. Aku tidak menyalahkan mereka. Siapa yang mau menjadi sasaran berikutnya?


Ia melanjutkan kritiknya, kalimat demi kalimat seperti anak panah yang menembus lapisan kepercayaan diri yang sudah rapuh. Aku merasa hampa. Kosong. Tapi entah kenapa, ada sedikit ruang kecil di dalam diriku yang berkata, jangan melawan, dengarkan… mungkin ada sesuatu yang harus kamu lihat.


Setelah rapat selesai, aku duduk sendirian di parkiran. Langit mendung, seperti mengerti suasana hatiku. Aku memandang laporan itu, kertas yang diremas tadi, kini kusimpan di pangkuan. Jujur saja, aku ingin marah. Ingin berteriak. Atau menangis keras-keras seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesukaannya.


Tapi yang keluar justru sebuah pertanyaan pelan, “Kenapa aku begitu terluka?”


Pertanyaan itu menghantamku. Karena tanpa kusadari, selama ini aku bekerja bukan sekadar untuk menyelesaikan tugas, tapi untuk mencari validasi. Setiap koreksi terasa seperti penolakan terhadap diriku, bukan terhadap pekerjaanku.


Itu bukan salah bossku.

Itu adalah luka lamaku sendiri.


Aku teringat ayahku yang dulu sering menilai hasil belajarku tanpa banyak pujian. “Kurang,” katanya, meski nilainya 90. Mungkin sejak itu aku tumbuh dengan pola, jika tidak dipuji, berarti aku gagal. Dan sekarang, setiap komentar tajam dari boss seperti menggali kembali luka lama itu.


Hari-hari berikutnya aku mulai mengamati bossku dari sudut berbeda. Ia selalu datang pagi-pagi sekali, wajahnya lelah, matanya gelap seperti kurang tidur. Ia menekan kami karena ia sendiri sedang tertekan. Mungkin… ia juga terluka, hanya saja bentuk lukanya berbeda dengan lukaku.


Suatu sore, ia memanggilku lagi.


Aku bersiap mental.


Namun kali ini aku mencoba sesuatu yang berbeda, aku mendengarkan tanpa membawa luka lamaku ikut duduk di meja.


Ia memberikan beberapa catatan. Ada yang pedas, ada yang logis. Tapi untuk pertama kalinya, aku melihat pola. Kritiknya sebenarnya ingin membawaku lebih teliti. Nada bicaranya memang keras, tapi substansinya masuk akal.


Di akhir pembicaraan ia berkata hal yang jarang kudengar, “Kamu ini sebenarnya punya potensi besar. Cuma… kamu terlalu sensitif.”


Dan entah kenapa, alih-alih tersinggung, aku malah tersenyum kecil. Karena untuk pertama kalinya aku sadar, itu benar.


Hari itu aku pulang dengan langkah lebih ringan. Bukan karena bossku berubah.


Tapi karena caraku memandang diri sendiri berubah.


Tidak semua kritik adalah serangan, sebagian adalah cermin untuk melihat apa yang perlu kita benahi. Sering kali yang paling menyakiti kita bukan ucapan orang lain, melainkan luka lama yang belum sembuh. 


Boss tidak selalu sempurna, tapi begitu pula kita. Pertumbuhan dimulai dari keberanian untuk menatap luka sendiri tanpa menyalahkan lingkungan.


Mari kita belajar berjalan lebih dewasa. Mari kita mengenali luka kita sebelum menuding keadaan. Mari kita tumbuh, bukan karena dipuji, tapi karena kita memilih menjadi lebih baik setiap hari. 


Kita kuat bukan ketika dunia lembut kepada kita, tapi ketika kita mampu kembali berdiri meski hati sedang berantakan.


"Tak seorang pun dapat menyakitiku tanpa izinku.” - Mahatma Gandhi


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA