#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - Senin pagi selalu terasa seperti lorong sepi yang hanya menggaungkan suara langkahku sendiri. Di kantor ini, setiap orang berjalan cepat, tapi semangat mereka seperti tertinggal di hari Jumat. Termasuk aku.
Aku baru saja duduk ketika suara khas itu muncul, tegas, datar, dan seperti selalu menyimpan kekecewaan yang belum sempat ia selesaikan di rumah.
“Rapat lima menit lagi. Semua laporan harus sudah siap. No excuse.”
Itu suara Pak Ade, manajer kami. Seseorang yang kalau tersenyum, orang-orang menduga pasti ada sesuatu yang salah di dunia ini.
Aku menahan napas. Laporan yang ia minta sebenarnya baru dikirim kemarin malam pukul 22.30 lewat pesan singkat, tanpa konteks, tanpa dokumen pendukung. Hanya satu kalimat, “Besok pagi saya mau semua data lengkap.”
Aku membuka laptop, mencoba merapikan yang bisa dirapikan. Tapi tangan ini bergetar. Bukan karena takut… tapi karena lelah. Lelah merasa apa pun yang kulakukan selalu kurang.
Saat rapat dimulai, semua duduk menunduk seperti tengah menunggu hujan badai.
Pak Ade membuka pertemuan dengan nada tinggi.
“Kenapa laporan ini tidak lengkap? Saya sudah minta jelas! Kenapa selalu Senin begini? Tidak ada perubahan!”
Aku menelan ludah. Lalu, entah keberanian dari mana, aku mengangkat tangan. “Pak, dokumen pendukungnya belum kami terima. Mungkin kalau—”
Beliau langsung memotong. “Alasan! Selalu alasan!”
Sekejap ruangan itu terasa seperti ruang interogasi. Pipi ini panas. Ada rasa ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa kami bukan pesulap yang bisa menyelesaikan data tanpa bahan. Tapi aku diam. Bukan karena takut, tapi karena aku tahu perdebatan hanya akan menambah api.
Setelah rapat bubar, suasana kantor makin sunyi. Seolah semua energi kami tersedot.
Aku kembali ke meja sambil menarik napas panjang. “Kenapa setiap Senin seperti ini?” gumamku lirih.
Lalu sebuah pesan muncul di layar, “Maafkan saya kalau pagi ini terlalu keras.”
Itu dari Pak Ade.
Aku tertegun.
Tak pernah kuduga seorang seperti beliau menulis kata maaf.
Beberapa menit kemudian, ia mendekat ke mejaku. Suaranya pelan, jauh berbeda dari tadi.
“Saya sedang mengalami sesuatu di rumah. Tapi itu bukan alasan. Saya tahu tekanan saya membuat kalian tertekan juga.”
Aku mendongak. Untuk pertama kalinya, matanya terlihat seperti mata manusia biasa, bukan sosok pemimpin yang selalu tampak kuat.
Beliau melanjutkan, “Saya takut terlihat lemah. Jadi saya menutupinya dengan ketegasan berlebihan. Tapi itu malah menyakiti orang lain.”
Ada hening beberapa detik. Ruangan terasa lebih manusiawi dari sebelumnya.
Aku menarik napas, lalu berkata, “Kami bisa membantu, Pak. Asal diberi arahan yang jelas dan waktu yang cukup. Kita semua ingin hasil yang baik, tapi kita juga butuh diperlakukan sebagai manusia.”
Pak Ade menunduk sedikit, seperti menahan sesuatu dalam dirinya. “Terima kasih. Saya akan perbaiki.”
Di momen itu, aku menyadari sesuatu, Terkadang, orang yang paling keras adalah orang yang paling takut dilihat rapuh.
Dan Senin yang biasanya sunyi itu tiba-tiba terasa lebih hangat.
Setiap orang membawa “perang” yang tak terlihat. Atasan yang paling keras pun mungkin sedang berjuang dengan luka yang tak pernah diceritakan. Ketika kita berhenti saling menyalahkan dan mulai saling memahami, konflik berubah menjadi jembatan, bukan jurang.
Mari kita ciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi.
Lingkungan yang bukan hanya mengejar target, tapi juga merawat hati.
Lingkungan di mana kita saling mendengar, bukan saling menyerang. Karena kita bekerja bukan hanya dengan otak, tapi juga dengan jiwa.
Akhirnya aku sadar, Senin tidak pernah benar-benar ramai, bukan karena pekerjaannya, tapi karena hati kita yang terlalu penuh dan tidak pernah diberi ruang untuk bernapas.
Dan hari itu, aku belajar membuka ruang itu. Untuk diri sendiri. Untuk tim. Untuk pemimpin yang ternyata juga sedang belajar menjadi manusia.
“Kekuatan bukan berasal dari kemenangan. Perjuanganmu membentuk kekuatanmu.” – Muhammad Ali




