Selasa, H / 25 November 2025

Surat untuk Bos Yang Tak Tahu Lelah

Kamis 20 Nov 2025 23:39 WIB

Author :Hary Kuswanto

Ilustrasi

Foto: Dokumen Pribadi

#CeritaHK

ESQNews.id, JAKARTA - Aku menulis surat ini di antara tumpukan file dan suara AC kantor yang sudah tak lagi terasa dingin. Hari itu, suasana ruang kerja seperti menahan napas, sepi, padat, dan penuh tekanan. Dan di tengah semua itu, ada sosok yang menjadi pusat badai, bosku.

Aku masih ingat bagaimana raut wajahnya, tajam, terburu-buru, seakan waktu selalu mengejarnya. Di satu sisi, dia adalah teladan kerja keras. Tapi di sisi lain, aku dan mungkin banyak orang di tim sering merasa seperti mesin yang harus tetap menyala meski indikator sudah berkedip merah.

Hari itu, ia datang dengan langkah cepat.

“Target minggu ini dimajukan. Kita harus selesaikan dalam tiga hari,” katanya tanpa menatap kami, seolah kalimat itu hanyalah instruksi otomatis dari sistem yang tak mengenal lelah.

Dalam hati aku menjerit. Tiga hari? Untuk proyek sebesar ini?

Tapi bibirku hanya menjawab, “Siap, Pak.”

Sejak saat itu, kantor seperti berubah menjadi ruang latihan maraton. Kami berlari bukan dengan kaki, tapi dengan pikiran, tenaga, dan kesabaran. Malam datang, pulang tertunda. Makan sering terlambat. Tidur seperti kemewahan.

Di tengah kelelahan yang memuncak, aku sempat marah.
Marah pada keadaan.
Marah pada dia.
Marah pada diriku sendiri yang seakan hanya bisa menerima.

Tapi aku tetap bekerja.

Sampai akhirnya, suatu malam, aku melihat sesuatu yang mengubah caraku memandangnya.

Lampu ruangannya masih menyala ketika aku hendak pulang. Pintu sedikit terbuka. Aku mengintip dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya bukan sebagai bos, tetapi sebagai manusia.

Dia duduk memegangi kepala, napasnya berat. Matanya sembab, seolah menahan sesuatu, lelah, mungkin kecewa, mungkin takut gagal. Di atas meja, ada foto keluarganya. Di sisi lain tumpukan dokumen yang jauh lebih tinggi dari meja kami.

Saat itu aku sadar.
Ia bukan tak tahu lelah.
Ia hanya tak punya pilihan untuk berhenti.

Dan entah mengapa, amarahku luruh.

Keesokan harinya, suasana kerja tetap berat. Namun hatiku berbeda. Target tetap target, tekanan tetap tekanan. Tapi aku mulai melihat bahwa setiap instruksinya bukan hanya tuntutan melainkan bentuk tanggung jawab besar yang ia pikul sendirian di depan kami.

Aku yang selama ini mengeluh dalam diam baru memahami bahwa ia menjaga ruang ini seperti seorang penjaga gerbang yang tak boleh tertidur.

Malam itu, aku memutuskan menulis surat ini.

Pak,
Kami sering merasa terbebani dengan cara Bapak memimpin. Kami sering merasa tidak didengar, sering merasa terlalu ditekan. Tapi mungkin kami juga lupa bahwa Bapak adalah manusia yang memikul beban lebih besar dari yang bisa kami bayangkan.

Di balik tegasnya suara Bapak, kami tahu ada kegelisahan.

Di balik setiap target ketat, ada tanggung jawab yang tidak ringan.

Dan di balik semua itu, ada hati seorang pemimpin yang sedang mencoba menjaga semuanya tetap berjalan.

Kami, tim yang Bapak tuntut untuk kuat, hari ini belajar sesuatu bahwa Bapak juga sedang berjuang.

Kadang konflik di kantor terjadi bukan karena niat buruk, tetapi karena semua orang sedang berjuang dari tempatnya masing-masing. Ketika kita melihat manusia di balik peran, amarah bisa berubah menjadi pengertian, dan tekanan bisa berubah menjadi kekuatan baru.

Mari kita belajar memahami sebelum menghakimi.

Mari kita belajar bekerja dengan hati, bukan sekadar tangan.

Dan mari kita menjadi tim yang tidak hanya mengejar target, tetapi juga saling menjaga.
Kita bisa memilih untuk menjadi cahaya meski kantor sedang gelap oleh tekanan.

Pada akhirnya, aku menutup surat ini dengan kesadaran baru, tidak semua atasan ingin terlihat keras, beberapa hanya tidak punya waktu untuk terlihat rapuh.

Dan aku memilih memahami, bukan menyalahkan.

“Cara terbaik menemukan dirimu adalah dengan mengabdikan dirimu untuk membantu orang lain.” – Mahatma Gandhi

Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA