#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - Nama saya Syawal. Sejujurnya, saya tidak pernah menyangka satu minggu di kantor bisa mengubah cara saya memandang tekanan, atasan, dan diri saya sendiri. Semuanya berawal dari Senin pagi yang rasanya seperti mimpi buruk.
Jam baru menunjukkan pukul 08.05, tapi notifikasi dari Pak Ade, bos saya yang terkenal keras, sudah masuk berkali-kali.
“Syawal, presentasi revisi harus selesai hari ini. Tidak ada alasan.”
Padahal saya baru saja duduk, napas masih tersengal setelah mengantar ibu ke rumah sakit sejak subuh. Rasanya dada saya penuh, antara kesal, sedih, dan takut. Bagi Pak Ade, deadline adalah segalanya. Tapi bagi saya hari itu, doa adalah satu-satunya pegangan untuk tetap bergerak.
Di ruang kerja, saya mencoba fokus. Namun bayangan ibu yang masih lemah terus mengusik. Tangan saya gemetar. Pikiran saya buyar. Dan ketika saya mengirim draft pertama, Pak Ade memanggil saya ke ruangannya.
“Ini apa, Wal?” nada suaranya tajam, menusuk.
“Saya… saya kurang fokus, Pak. Ibu saya—”
“Saya tidak tanya alasan. Saya tanya hasil.”
Ucapan itu seperti cambuk. Saya menelan ludah, menahan amarah yang mendidih di dada. Rasanya ingin berteriak, “Saya juga manusia, Pak!” Tapi saya diam. Diam yang rasanya menyakitkan.
Setelah keluar, beberapa teman menepuk bahu saya.
“Sabarlah, Wal. Kamu kuat.”
Saya tersenyum, padahal hati saya rapuh.
Siang hari, tekanan semakin menjadi-jadi. Layar monitor terasa semakin terang, kepala saya semakin berat. Namun di tengah kekacauan itu, saya sempat melirik mushaf kecil yang selalu saya bawa.
Saya membuka secara acak, dan mata saya tertumbuk pada ayat, “Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5)
Saya menutup mushaf itu sambil menarik napas panjang. Seperti ada angin yang menepuk lembut hati saya, “Kerjakan saja yang bisa kamu kerjakan. Serahkan sisanya pada Allah.”
Dengan sisa energi yang saya punya, saya revisi satu per satu halaman, memperbaiki grafik, menata kembali narasi.
Sampai akhirnya, menjelang waktu maghrib, saya memberanikan diri mengirim hasil akhir ke Pak Ade.
Pukul 18.22, Pak Ade memanggil saya lagi.
Suaranya kali ini pelan. “Duduk, Wal.”
Ada jeda yang panjang. Tidak seperti biasanya.
“Saya… membaca laporanmu. Ini bagus.”
Saya menatapnya, bingung.
“Saya marah tadi pagi. Mungkin terlalu keras. Tapi saya tidak tahu keadaan ibumu.”
Saya tertegun.
“Saya juga sedang punya orang tua yang sakit. Jadi saya sebenarnya paham.”
Dalam hati saya luluh. Ternyata manusia yang saya anggap ‘hanya bos keras’ itu juga punya luka. Hanya tidak terlihat.
“Makasih, Pak.” suara saya parau.
“Kalau kamu butuh waktu, bilang. Tapi pastikan komunikasinya jelas. Saya keras karena target perusahaan, bukan karena benci sama orangnya.”
Saya pulang malam itu dengan perasaan aneh, campuran lega, haru, dan malu. Saya sadar, sering kali kita sibuk membenci tekanan sampai lupa melihat niat di baliknya.
Allah tidak pernah membiarkan kita berjuang sendirian. Setiap tekanan bisa jadi cara-Nya membentuk hati kita menjadi lebih sabar, lebih lapang, dan lebih matang.
Terkadang, orang yang kita anggap menyulitkan justru sedang mengajarkan profesionalisme, tanggung jawab, atau komunikasi yang lebih baik. Dan setiap orang, termasuk bos yang paling keras sekalipun, menyimpan kisah yang kita tidak tahu.
Mari kita belajar melihat konflik bukan sebagai tembok, tapi sebagai jembatan menuju versi terbaik dari diri kita.
Mari kita belajar berbicara sebelum berprasangka.
Mari kita belajar memahami sebelum menilai.
Karena kita tidak akan pernah tahu betapa beratnya beban yang dibawa seseorang sampai kita memilih untuk peduli.
Di tengah deadline, jangan lupa ada doa.
Di tengah tekanan, jangan lupa ada harapan.
Dan di tengah konflik, selalu ada hikmah.
“Kesulitan akan membuat jiwa kita kuat, sama seperti angin kencang membuat akar pohon semakin dalam.” – Albert Einstein




