Kamis, H / 13 November 2025

Mengenali Luka Sendiri

Minggu 09 Nov 2025 22:36 WIB

Author :Hary Kuswanto

Ilustrasi

Foto: Dokumen Pribadi

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Aku masih ingat pagi itu, ruang rapat yang dingin, lampu neon berkelip, dan wajah Pak Syawal, bosku, menatap layar presentasi dengan tatapan tajam. 


Setiap kata yang keluar darinya terasa seperti pisau yang mengiris pelan harga diriku.


“Ini laporan paling buruk yang pernah saya lihat. Kamu tahu apa artinya kalau minggu depan tidak ada perbaikan?” katanya tanpa menatapku.


Aku hanya mengangguk, menahan napas. Tim menunduk, pura-pura sibuk mencatat. Tapi aku tahu mereka juga tegang. Aku ingin menjawab, menjelaskan bahwa proyek ini telat karena sistem pusat, bukan semata salahku. Tapi lidahku kelu.


Sepulangnya, aku duduk lama di mobil. Mesin mati, tapi kepalaku panas. Kata-kata “laporan paling buruk” terus terngiang, berputar seperti kaset rusak. Aku marah, kecewa, merasa tidak dihargai. Tapi di sela amarah itu, ada suara lirih dari dalam hati, kenapa kamu begitu terluka?


Malamnya aku menatap cermin lama di kamar. Wajahku pucat. Mata sayu. Tapi luka paling besar ternyata bukan di wajahku, melainkan di dalam diriku sendiri. Luka dari harapan yang tidak sesuai kenyataan. Luka dari keinginan untuk selalu diakui.


Aku menyadari sesuatu, Pak Syawal tidak memukulku, tidak menyingkirkanku. Ia hanya bicara dengan caranya, keras, mungkin karena tekanan dari atas. 


Dan aku? Aku bereaksi dengan membawa luka-luka lama yang belum sembuh, perasaan gagal, takut salah, takut ditolak.


Keesokan harinya, aku masuk kantor lebih pagi. Ruang kerja masih sepi. Aku buka laptop, revisi laporan, dan di sela angka-angka itu, aku menulis satu kalimat kecil di pojok kertas, "Hari ini aku belajar mengenali lukaku, bukan menyalahkan lukamu.”


Saat rapat berikutnya, Pak Syawal tetap dengan nada tegasnya. Tapi kali ini aku melihatnya berbeda. Aku memperhatikan matanya, tampak lelah. Ada garis tipis di bawah matanya, mungkin semalam ia juga tidak tidur, memikirkan beban yang lebih besar.


Setelah rapat, aku mendekatinya. “Pak, saya sudah perbaiki laporan. Mungkin belum sempurna, tapi saya belajar banyak dari kemarin.”


Ia terdiam sebentar, lalu berkata pelan, “Bagus. Lanjutkan. Maaf kalau kemarin saya agak keras.” Itu saja. Singkat. Tapi cukup membuat mataku hangat.


Perlahan, aku belajar bahwa tidak semua teguran adalah bentuk kebencian. Kadang, itu hanya bentuk lain dari tanggung jawab.


Tidak semua bentakan adalah bentuk perlawanan, bisa jadi itu bahasa dari kelelahan yang tidak sempat diterjemahkan.


Aku juga belajar bahwa menjadi tim bukan berarti menuntut boss sempurna. Sama seperti boss bukan berarti menuntut tim tanpa cela. Kita semua manusia yang sedang belajar di arena yang sama dengan luka masing-masing.


Hari itu aku pulang bukan dengan kemenangan, tapi dengan ketenangan. Aku tidak lagi membawa dendam. Aku membawa pemahaman bahwa tidak semua rasa sakit harus dilawan. Beberapa cukup dikenali, dirangkul, lalu dijadikan guru.


Kini setiap kali aku merasa tersinggung oleh ucapan boss, aku berhenti sejenak dan bertanya, "Apakah ini tentang dia, atau tentang lukaku sendiri yang belum sembuh?”


Dan hampir selalu, jawabannya adalah yang kedua.


Dalam dunia kerja, kita sering lupa bahwa di balik peran “atasan” dan “bawahan”, ada dua manusia yang sama-sama bisa lelah, takut, dan mencari arti. Kita bisa memilih untuk berhenti bereaksi dengan luka, dan mulai merespons dengan kesadaran.


Kita perlu belajar mengenali luka sendiri agar tidak terus menularkan rasa sakit itu pada orang lain. Sebab, hanya dengan memahami diri, kita bisa memahami orang lain.


Mari kita mulai dari diri sendiri. Kita berhenti menyalahkan, berhenti membalas, berhenti mengasihani diri.


Kita kenali luka-luka kita, sembuhkan dengan kasih, dan lanjutkan dengan tangguh.


Karena setiap teguran bisa jadi pesan tersembunyi dari semesta, "Kamu belum kalah, kamu sedang ditempa.”


"Luka adalah tempat di mana cahaya masuk ke dalam dirimu.” — Rumi


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA