#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - Aku masih ingat masa-masa itu dengan jelas, masa ketika kantor bukan lagi tempat untuk berkarya, tapi medan perang antara ambisi dan kelelahan. Kami di tim produksi sedang dikejar target tak masuk akal. Lembur jadi makanan sehari-hari, bahkan hari Minggu terasa seperti hari Senin.
Bos kami, Pak Ade, adalah sosok perfeksionis. Semua harus cepat, tepat, dan sempurna. “Kita harus bisa! Jangan banyak alasan!” begitu kalimat favoritnya setiap kali rapat.
Awalnya aku kagum dengan semangatnya. Tapi semakin lama, semangat itu berubah jadi tekanan yang menghimpit dada.
Aku mulai kehilangan selera makan. Tidur tak nyenyak. Setiap kali notifikasi grup kantor berbunyi, jantungku berdegup kencang seperti alarm bahaya. Tapi anehnya, di depan beliau kami semua tetap tersenyum, pura-pura kuat, pura-pura sanggup.
Sampai suatu hari, tubuhku benar-benar menyerah. Di tengah lembur, mataku berkunang, dan aku pingsan di depan layar laptop. Ketika sadar, aku sudah di klinik kantor.
Pak Ade datang tak lama kemudian. Wajahnya terlihat kaku, tapi ada sesuatu di matanya, semacam rasa bersalah yang jarang kutemui.
“Kamu kenapa gak bilang kalau udah separah ini?” tanyanya pelan.
Aku ingin menjawab, tapi tenggorokanku terasa kering. Akhirnya hanya satu kalimat yang keluar, lirih, hampir bergetar, “Karena kami takut, Pak.”
Ia terdiam cukup lama. Lalu duduk di kursi sebelahku. Untuk pertama kalinya, ia tidak terlihat seperti boss, tapi seperti manusia yang sedang berpikir keras tentang kesalahannya sendiri.
Beberapa hari kemudian, suasana kantor mulai berubah. Rapat mingguan bukan lagi sekadar laporan angka, tapi juga sesi berbagi perasaan.
Pak Ade membuat kebijakan baru, “Satu minggu, satu hari tanpa lembur.” Kedengarannya sederhana, tapi bagi kami, itu seperti hadiah.
Suatu sore, aku dipanggil ke ruangannya. “Aku baru sadar,” katanya sambil menatap jendela, “aku terlalu sibuk mengejar hasil, sampai lupa bahwa aku bekerja dengan manusia, bukan mesin.”
Aku menatapnya, kali ini dengan senyum tulus. “Kami pun lupa, Pak… bahwa atasan juga bisa lelah.”
Sejak itu, hubungan kami berubah. Ia mulai mendengarkan lebih banyak, menegur dengan lebih lembut, dan bahkan sesekali bercanda di sela rapat.
Kami juga bekerja dengan semangat yang berbeda, bukan karena takut gagal, tapi karena ingin berhasil bersama.
Aku belajar sesuatu yang berharga dari pengalaman itu. Burnout bukan tanda lemah, tapi tanda bahwa hati dan tubuh kita sedang meminta jeda untuk diingatkan kembali, kita manusia, bukan robot.
Kini, setiap kali aku merasa jenuh, aku berhenti sejenak, menarik napas dalam, lalu berkata pada diri sendiri, “Istirahat bukan berarti menyerah, tapi cara terbaik untuk bisa melangkah lagi.”
Malam itu, saat semua rekan sudah pulang, aku menatap layar laptopku yang kini tak lagi menakutkan. Cahaya putihnya terasa hangat seperti lambang dari babak baru dalam hidupku.
Aku tersenyum kecil dan berbisik dalam hati, “Ternyata setelah gelap burnout, selalu ada cahaya yang menunggu.”
Kadang, kita baru benar-benar menghargai keseimbangan setelah merasakan titik terendah. Tekanan akan selalu ada, tapi kita bisa memilih, menjadi korban kelelahan, atau menjadi manusia yang belajar untuk beristirahat tanpa merasa bersalah.
Mari kita ubah cara pandang terhadap kerja keras. Karena produktivitas sejati bukan soal seberapa lama kita bekerja, tapi seberapa bijak kita menjaga energi, hati, dan kesehatan mental kita bersama.
“Jangan biarkan cahaya di dalam dirimu padam karena kelelahan. Bahkan lilin kecil pun bisa menerangi kegelapan.” – Helen Keller




