Oleh: Restu Ashari Putra
ESQNews.id, JAKARTA - Seorang santri datang kepadaku. Ia mengeluh lantaran teman-temannya tampak menjauhi dia karena ada hal-hal yang tidak disukai menyangkut soal hubungan pertemanannya. Ia merasa terpukul dan bersedih. Seolah tidak ada kesedihan selain kesedihan yang dialaminya itu.
Aku menemukan satu tulisan menarik dari seorang Imam Besar Al-Azhar, Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawy Rahimahullah. Ia berkata,
"Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenal kita, kita adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita, kita istimewa dalam pandangan orang-orang yang mencintai kita, kita adalah pribadi yang menjengkelkan bagi orang yang penuh kedengkian, kita adalah orang-orang jahat di dalam tatapan orang-orang yang iri.
Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing-masing, maka tidak usah berlelah-lelah agar tampak baik di mata orang lain. Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita, sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah tujuan yang pasti sampai."
Maka aku mengatakan, seorang yang mencintai kita boleh jadi esok hari ia akan membenci. Atau sebaliknya, siapa saja yang membenci kita pada hari ini, mungkin besok ia akan menjadi orang yang paling mencintai.
Sesuatu yang menyenangkan saat ini, bisa jadi esok hari berubah menjadi sesuatu yang amat tidak kita suka. Maka percayalah, bagi Allah segalanya bisa berubah kapan saja sesuka-Nya.
Dan beginilah dunia. Bergulir dan berputar. Tergantung bagaimana kita memandang. Satu-satunya yang bisa kita pastikan adalah diri kita sendiri. Apakah bisa menerima itu semua atau tidak.
Sepahit-pahitnya kita, adakah yang lebih pahit dari Sumayyah binti Khoyyath?
Seorang perempuan yang hidupnya dihabiskan sebagai budak, lalu disiksa setelah ia memutuskan memeluk Islam, di atas gurun pasir membara, di bawah terik matahari bersama seluruh keluarganya. Bukan hanya itu, tubuhnya juga ditaburi dengan pasir gurun yang panas.
Selesai sampai di situ? Tidak.
Penyiksaan bertambah lagi. Tubuhnya diletakkan sebongkah batu besar. Kemudian Abu Jahal bertanya, "Maukah kamu kembali kepada agama nenek moyangmu sehingga kamu aku bebaskan?"
Sumayyah bertahan. Sementara Nabi Saw hanya mengeluarkan kalimat, Shobron Ala Yasir. Bersabarlah wahai Keluarga Yasir…
Sumayyah, ibunda dari seorang sahabat Nabi Saw, Ammar bin Yasir. Apa yang menjadikannya kuat?
Mungkin jika kita, mohon maaf, akan dengan mudah mengatakan, “Enak banget bilang sabar!”
Astaghfirullah…
Penderitaan itu memang besar, tapi tampak kecil di depan matanya. Ia memandang ada yang lebih besar daripada apa yang ia alami.
Melihat Sumayyah tak bergeming. Abu Jahal pun murka. Dibunuhnya Sumayyah saat itu juga. Jadilah ia sosok syahidah perempuan pertama dalam sejarah dakwah Islam.
“Shobron Ala Yasir... Sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga."
Inilah yang menjadikannya kuat. Obsesi paling tinggi dalam hidup manusia: Allah, Rasul, dan surga-Nya.
Aku ingin katakan sungguh tidak mudah menjadi manusia tangguh seperti itu. Tapi bukan berarti tak bisa bisa digapai.
Mereka toh manusia juga seperti kita dan senyata-nyatanya keadaan manusiawi yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia dalam jejak risalah Nabi Saw.
Mereka Allah takdirkan lahir sebagai teladan, bagaimana mungkin keadaannya tak bisa kita gapai.
Kita sakit ketika disakiti. Kita rapuh ketika ditindas. Kita baper ketika dicaci. Itu manusiawi. Toh Sumayyah juga merasakan nyeri ketika dizalimi. Tapi ada yang bisa mengalahkan kesakitannya itu. Sebuah obsesi tertinggi.
Ia nyata dan ada. Allah yang Maha Tinggi, lebih dari segala-galanya. Yang Memilikimu, dan kamu memiliki-Nya.
Ia Kekal, kita fana. Sebagaimana penderitaan, jika datang kepadamu, juga fana. Ushikum wa iyyaya.




