Kamis, H / 06 November 2025

Obrolan Pagi yang Menyelamatkan

Senin 03 Nov 2025 13:17 WIB

Author :Hary Kuswanto

Ilustrasi

Foto: Dokumen Pribadi

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Pagi itu, suasana kantor masih sepi. Aroma kopi hitam menyeruak dari pantry kecil di sudut ruangan. Aku duduk di kursi kerjaku sambil menatap layar laptop yang menampilkan daftar tugas minggu ini, semuanya berwarna merah. Deadlines lewat. Proyek tertunda. Target belum tercapai.


“Masih pagi, tapi wajahmu sudah seperti sore hari,” suara berat itu muncul dari belakang. Aku menoleh, Pak Ade, boss langsungku. Sosok yang dikenal disiplin, keras, dan sering membuat ruang meeting terasa seperti ruang sidang.


Aku tersenyum kaku. “Pagi, Pak. Iya, lagi nyusun laporan yang sempat tertunda.”


“Lagi?” nada suaranya menekan, tapi matanya tak lagi setajam biasanya. Ia lalu menarik kursi dan duduk di depan mejaku. “Ayo, cerita. Apa yang sebenarnya terjadi?”


Aku sempat bingung. Selama ini, kami tak pernah berbicara selain urusan pekerjaan. Tapi entah kenapa, pagi itu ia tampak lebih manusiawi. 


Aku menunduk sejenak, lalu bicara pelan, “Tim lagi drop, Pak. Banyak yang capek, stres. Kami ngerasa targetnya berat banget. Dan... jujur, suasana tim makin tegang.”


Pak Ade terdiam. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang mulai dingin. “Kamu tahu? Aku juga capek,” katanya tiba-tiba.


Aku menatapnya kaget.


“Capek karena mungkin aku terlalu fokus pada hasil, sampai lupa bahwa yang menggerakkan hasil itu adalah manusia.”


Kalimat itu menancap dalam. Ruangan yang biasanya penuh tekanan tiba-tiba terasa hangat.


Ia melanjutkan, “Aku dulu seperti kalian juga. Pagi datang dengan semangat, pulang dengan kecewa. Tapi waktu itu aku punya boss yang selalu bilang, ‘Ade, berhentilah menjadi robot yang mengejar angka. Jadilah manusia yang menumbuhkan manusia.’ Sayangnya, aku lupa pesan itu beberapa tahun terakhir.”


Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi lain dari seseorang yang selama ini kuanggap “dingin.” Ia tidak sedang marah, tapi sedang menyesal.


Lalu ia menatapku, “Menurutmu, apa yang timmu butuhkan sekarang?”


Aku menjawab tanpa pikir panjang, “Didengar, Pak.”


Hanya itu. Tapi kata itu seperti kunci yang membuka semua pintu beku di antara kami.


Kami pun mengobrol cukup lama. Tentang stres kerja, tentang kesalahan yang sering diulang, bahkan tentang keluarga. Tak ada PowerPoint, tak ada laporan, hanya dua manusia yang sedang berusaha saling memahami.


Sebelum beranjak, Pak Ade berkata pelan, “Hari ini, aku minta satu hal, kumpulkan tim. Bukan untuk rapat, tapi untuk sarapan bareng di ruang meeting. Aku yang siapkan.”


Jujur, aku kira itu hanya basa-basi. Tapi satu jam kemudian, aroma nasi goreng dan kopi hitam memenuhi ruang rapat. Semua anggota tim hadir dengan wajah bingung bercampur heran.


“Mulai hari ini,” kata Pak Ade di depan kami, “kita ubah cara kerja. Kita tetap kejar target, tapi jangan lupakan tenaga dan perasaan kita. Kalau kalian lelah, bilang. Kalau aku salah, ingatkan. Kita bukan mesin, kita tim.”


Hening. Lalu tepuk tangan kecil muncul dari pojok ruangan. Beberapa rekan tampak menahan air mata. Ada rasa lega yang sudah lama hilang.


Hari itu bukan hanya tentang sarapan gratis, tapi tentang pemulihan. Hubungan kami yang sempat retak mulai kembali utuh. Target memang tetap berat, tapi kali ini kami melangkah dengan hati yang lebih ringan.


Kini, setiap pagi kami punya ritual kecil, obrolan sepuluh menit sebelum mulai kerja. Kadang hanya membahas hal remeh seperti cuaca, film, anak sekolah, tapi justru di situlah kami menemukan energi baru.


Dari obrolan pagi itu, aku belajar satu hal penting, Pemimpin bukan hanya yang mengarahkan, tapi juga yang mendengarkan. Dan terkadang, obrolan sederhana bisa menyelamatkan banyak hal yang nyaris hancur.


Aku menatap Pak Ade yang kini lebih sering tersenyum. Dalam hati, aku bersyukur.


Karena ternyata, yang kita butuhkan bukan selalu gaji naik, cuti panjang, atau penghargaan besar. Kadang, yang kita butuhkan hanyalah rasa dimanusiakan.


Kita sering lupa bahwa di balik setiap target ada manusia yang punya rasa. Mari kita mulai dari hal kecil yakni mendengarkan, memahami, dan menghargai. Karena terkadang, perubahan besar dimulai dari obrolan kecil yang tulus.


Mari kita lebih peka. Di kantor, di rumah, di mana pun kita bekerja, ayo jadikan setiap interaksi sebagai ruang penyembuhan, bukan tekanan.


“Kebaikan adalah bahasa yang dapat didengar oleh tuli dan dilihat oleh buta.” – Mark Twain


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA