#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - Setiap pagi aku berangkat ke kantor dengan dada berat. Bukan karena jarak yang jauh, tapi karena suasana kerja yang makin menekan. Bossku, Pak Ade, dikenal sebagai “pemimpin baja”, keras, tegas, dan hampir tak pernah tersenyum. Kami di timnya terbiasa dengan teguran tajam, bahkan untuk kesalahan kecil.
Hari itu, kami sedang menyiapkan presentasi untuk direksi. Semua orang menegangkan ototnya. Aku, yang bertanggung jawab atas data keuangan, memeriksa file sampai dini hari. Namun nasib buruk datang. Saat presentasi dimulai, file utama rusak dan tidak bisa dibuka.
Pak Ade menatapku tajam. “Kamu serius? File sekrusial ini rusak di hari penting?”
Aku berusaha menjelaskan, “Tadi malam sudah dicek, Pak. Mungkin karena ....”
“Tidak ada alasan! Kamu tahu berapa besar taruhannya?” suaranya meninggi, membuat seluruh ruangan membeku.
Aku diam, menahan rasa malu dan sakit hati. Rasanya ingin menelan bumi. Setelah rapat itu, aku duduk di meja sambil menatap layar kosong. Rekan-rekan mencoba menghibur, tapi aku hanya tersenyum pahit. Dalam hati, aku mulai bertanya, sampai kapan aku bisa bertahan?
Beberapa hari berikutnya, suasana kantor tetap berat. Aku berusaha tetap profesional, tapi semangat sudah terkikis. Hingga suatu sore, saat semua sudah pulang, Pak Ade tiba-tiba menghampiri mejaku.
“Kamu belum pulang?” tanyanya.
“Belum, Pak. Masih memperbaiki laporan kemarin.”
Ia mengangguk pelan. Hening beberapa saat, lalu ia berkata lirih, “Aku terlalu keras waktu itu, ya?”
Aku terkejut. Boss seperti Pak Ade… meminta maaf?
“Tidak apa-apa, Pak,” jawabku cepat.
“Tidak, aku tahu aku berlebihan. Aku hanya… takut gagal. Tekanan dari atas begitu besar. Kadang aku lupa, kalian juga manusia yang punya batas.”
Kata-katanya menancap di dada. Untuk pertama kali, aku melihat sisi lain dari sosok yang selama ini kukira tak punya hati.
“Aku bangga kamu tetap berusaha,” lanjutnya.
“Tidak semua orang bisa bertahan di situasi seperti ini.”
Aku menunduk, menahan haru. Selama ini aku hanya melihat tekanan dari sisi kami, para bawahan. Tapi malam itu, aku sadar, para atasan pun punya beban yang tak terlihat. Mereka harus kuat di depan, bahkan saat sebenarnya nyaris runtuh.
Keesokan harinya, sesuatu berubah. Suasana rapat terasa lebih manusiawi. Pak Ade mulai bertanya, “Ada yang bisa dibantu?” atau “Bagaimana pendapat kalian?” Kalimat sederhana, tapi dampaknya besar. Kami mulai merasa dihargai, bukan sekadar dievaluasi.
Proyek kami yang sempat tertunda akhirnya selesai. Namun yang paling berharga bukan hasilnya, melainkan perjalanan di baliknya, saat kami belajar bahwa ketegasan tanpa empati hanya akan melahirkan jarak, dan kesabaran tanpa komunikasi hanya akan melahirkan luka.
Sore itu, setelah semua laporan dikirim, aku berjalan keluar kantor sambil menatap langit. Ada rasa lega, juga bangga. Aku tersenyum dan bergumam, “Ternyata bertahan bukan berarti diam, tapi tetap berjuang tanpa kehilangan hati.”
Dalam dunia kerja, kita semua sedang bertahan, baik pemimpin maupun tim. Kadang, kerasnya sikap hanyalah cara seseorang menutupi rasa takutnya gagal. Dan di balik setiap ketegangan, selalu ada kesempatan untuk memahami, bukan menghakimi.
Mari kita belajar untuk tetap kuat tanpa kehilangan empati, tegas tanpa kehilangan hati. Karena di balik setiap tekanan, ada ruang untuk tumbuh, jika kita mau melihatnya dengan bijak.
“Kekuatan tidak datang dari kemenangan. Perjuanganmulah yang membentuk kekuatanmu.” – Mahatma Gandhi





