Kamis, H / 06 November 2025

Boss yang Mau Mendengar

Rabu 05 Nov 2025 07:56 WIB

Author :Hary Kuswanto

Ilustrasi

Foto: iStock

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Sudah dua bulan terakhir kantor terasa seperti ladang perang. Tegangan antara tim dan boss makin terasa, walau tak pernah ada yang benar-benar diucapkan. Kami bekerja cepat, tapi tanpa semangat. Semua karena satu hal, boss kami, Pak Ade.


Sosok perfeksionis yang kalau bicara seperti pisau. Tak pernah salah, tak mau mendengar. Semua keputusan harus sesuai caranya. Aku, sebagai koordinator tim, sering menjadi “tameng”, menahan amarah rekan-rekan di bawah, dan menyampaikan laporan yang pasti akan dikritik di atas.


Hari itu, kami rapat mingguan. Seperti biasa, suasananya menegangkan. Pak Ade duduk dengan wajah kaku.


“Kenapa progress-nya tidak sesuai target?!” suaranya meninggi.


Aku mencoba menjawab pelan, “Kami sudah berusaha, Pak. Hanya saja, ada kendala teknis dari vendor....”


“Jangan alasan! Kalau vendor lambat, kenapa kalian diam saja?”


Seketika ruangan membeku. Tatapan teman-teman jatuh padaku, berharap aku menenangkan situasi. 


Tapi apa yang bisa kukatakan?


Rapat berakhir tanpa solusi. Hanya meninggalkan rasa lelah. Sore itu, semua pulang lebih dulu, menyisakan aku yang masih memandangi layar laptop dengan pikiran berantakan.


Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Pak Ade berdiri di sana. Aku refleks menegakkan badan.


“Masih di kantor?” tanyanya pelan, nadanya kali ini tak sekeras biasanya.


“Iya, Pak. Sedikit merapikan laporan.”


Ia mendekat, menatap meja kerjaku yang penuh kertas. “Kamu sering lembur, ya?”


Aku tersenyum kaku. “Sudah terbiasa, Pak.”


Hening. Lalu sesuatu yang tak kusangka terjadi, ia duduk di kursi sebelahku.


“Boleh jujur, Jojo?” katanya. “Aku tahu akhir-akhir ini suasana tim tidak enak. Aku bisa merasakannya.”


Aku menatapnya hati-hati. “Kami cuma... agak lelah, Pak. Banyak arahan berubah mendadak. Kadang kami bingung harus prioritaskan yang mana.”


Ia mengangguk pelan. “Aku juga lelah,” katanya tiba-tiba.


Aku terkejut. “Lelah, Pak?”


“Iya. Aku sadar akhir-akhir ini aku terlalu keras. Aku pikir kalau aku menekan, hasil akan lebih cepat. Tapi ternyata malah membuat kalian menjauh.”


Suasana mendadak hangat. Wajahnya yang biasanya tegang kini tampak manusiawi.


“Dulu,” lanjutnya, “aku punya boss yang keras juga. Aku berjanji tidak akan seperti dia. Tapi tanpa sadar... aku jadi sama.”


Aku menunduk. Ada rasa haru dan malu bersamaan. Kami saling diam beberapa saat, lalu aku memberanikan diri berkata, “Pak, tim saya sebenarnya sangat menghormati Bapak. Hanya saja, kami butuh ruang untuk bicara. Kadang ide-ide kecil kami tidak sempat keluar karena takut disalahkan.”


Ia menatapku lama. “Mungkin itu salahku. Aku sibuk memimpin, tapi lupa mendengar.”


Sejak hari itu, sesuatu berubah. Minggu berikutnya, rapat dibuka dengan kalimat yang tak pernah kami dengar sebelumnya, “Baik, sebelum saya bicara, saya mau dengar dulu dari kalian. Apa yang bisa kita perbaiki minggu ini?”


Hening sebentar, lalu satu demi satu anggota tim mulai bicara. Suaranya masih ragu di awal, tapi makin lama makin berani. Pak Ade mendengarkan dengan seksama, mencatat, bahkan tersenyum.


Dan ajaibnya, setelah rapat itu, semangat kerja meningkat drastis. Bukan karena target jadi mudah, tapi karena kami merasa dihargai.




Beberapa minggu kemudian, proyek besar yang sempat tertunda akhirnya selesai. Bukan karena strategi baru, tapi karena komunikasi yang membaik.


Sore itu, saat semua pulang dengan wajah lega, aku sempat menghampiri Pak Ade dan berkata, “Terima kasih, Pak. Karena Bapak mau mendengar.”


Ia tersenyum kecil. “Terima kasih juga karena kalian mau bicara.”


Aku belajar satu hal hari itu, kepemimpinan bukan hanya soal memberi perintah, tapi membuka telinga dan hati.


Kadang, yang dibutuhkan tim bukan boss yang sempurna, tapi boss yang mau mendengar karena mendengar adalah bentuk paling sederhana dari menghargai.


Mari kita mulai dari diri sendiri. Entah kita pemimpin atau anggota tim, belajarlah mendengar sebelum menilai, dan memahami sebelum menghakimi karena ketika komunikasi terbuka, kepercayaan tumbuh, dan kinerja pun ikut berkembang.


“Sebagian besar orang tidak benar-benar mendengarkan dengan niat memahami, mereka mendengarkan dengan niat menjawab.” – Stephen R. Covey


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA