KISAH
#CeritaHKESQNews.id, JAKARTA - Aku tidak pernah menyangka, bahwa hari di mana aku merasa paling tak berguna… justru hari di mana aku benar-benar belajar tentang makna kerja keras.Pagi itu, suasana kantor masih sepi ketika aku membuka laptop. Notifikasi email berderet seperti barisan peluru:"Revisi segera.""Kenapa ini belum selesai?""Kamu tahu akibatnya kalau telat lagi, kan?"Semuanya dari orang yang sama, bossku.Aku menarik napas panjang. Jari-jariku gemetar di atas keyboard. Rasanya seperti setiap huruf yang kuketik selalu salah di matanya. Padahal aku sudah berusaha. Tapi entah kenapa, setiap usahaku tak pernah cukup.Beberapa teman sempat bilang, “Dia memang begitu. Perfeksionis. Jangan diambil hati.”Tapi kalimat itu tak membantu. Karena setiap kali aku dipanggil ke ruangannya, hatiku tetap berdebar seperti siswa yang menunggu nilai ujian.Hari itu pun sama. Ia menatapku tajam dari balik kacamata.“Aku tahu kamu punya potensi,” katanya pelan, “tapi potensimu tidak akan ada artinya kalau kamu terus berlindung di balik alasan.”Aku terdiam. Aku ingin membantah, tapi suaraku hilang.Di dadaku, ada rasa sesak yang sulit dijelaskan, campuran antara kecewa, malu, dan marah.Aku keluar ruangan dengan kepala tertunduk, menahan air mata agar tidak jatuh.Sore harinya, aku duduk sendirian di pantry. Kupandangi piala-piala di lemari kaca kantor, semua hasil kerja tim kami, bukan kerja satu orang. Tapi entah kenapa, hanya satu nama yang selalu disebut dalam setiap rapat, setiap penghargaan, setiap artikel internal perusahaan, nama bossku.Aku? Tak pernah disebut. Tak pernah dilihat.Rasanya tidak adil.Tapi di tengah rasa itu, aku teringat satu hal yang dulu pernah ia katakan, "Kalau kamu hanya bekerja demi pengakuan, kamu akan cepat lelah. Tapi kalau kamu bekerja demi nilai dan arti, kamu akan terus tumbuh, bahkan tanpa sorotan.”Kalimat itu dulu hanya lewat di telingaku. Tapi malam itu, entah kenapa, terasa seperti tamparan halus yang menembus dada.Aku mulai berpikir, mungkin benar… aku terlalu sibuk ingin dihargai, sampai lupa bahwa pekerjaanku seharusnya tentang kontribusi, bukan validasi.Mulai hari itu, aku berhenti menghitung “siapa yang tahu aku bekerja,” dan mulai fokus pada “apa yang aku hasilkan.”Aku datang lebih pagi, memperbaiki detail yang dulu kuabaikan, dan belajar memahami maksud di balik tegurannya.Ternyata benar, banyak hal yang dulu kuanggap sebagai serangan, sebenarnya adalah bentuk kepercayaannya bahwa aku mampu lebih baik.Beberapa bulan berlalu.Aku tak lagi mencari tepuk tangan. Tapi diam-diam, hasil kerjaku mulai diperhatikan.Sampai suatu pagi, di rapat bulanan, bossku berkata di depan semua orang, "Ada satu orang di tim ini yang tidak banyak bicara, tapi konsisten bekerja. Dia bangkit tanpa sorotan. Dan justru karena itu, dia layak dihargai.”Aku tertegun.Namaku disebut. Untuk pertama kalinya.Tapi anehnya, aku tidak lagi meneteskan air mata bahagia karena aku sadar, penghargaan terbaik bukan dari kata-kata orang lain, tapi dari diriku sendiri yang memilih bangkit tanpa sorotan.Hari itu aku belajar bahwa tidak semua kebaikan harus terlihat.Bahwa bekerja dengan hati tak selalu disorot, tapi selalu dicatat oleh waktu, oleh kehidupan, dan oleh Tuhan.Kadang, kita memang tidak akan dipuji. Tidak akan disebut.Tapi justru di situlah kedewasaan tumbuh, ketika kita tetap memilih berjuang tanpa perlu disorot.Kita tidak perlu menjadi terang yang silau, cukup menjadi cahaya kecil yang konsisten, menerangi dari dalam.Kita semua, entah sebagai atasan atau bawahan, pernah merasa tak dilihat, tak dihargai, atau tak diakui.Tapi hari ini, mari kita belajar satu hal, "Jangan berhenti berbuat baik hanya karena tak ada yang melihat."Kita tetap bisa bekerja dengan integritas, berkarya dengan hati, dan berkontribusi dengan niat baik meski tanpa tepuk tangan.Karena yang penting bukan siapa yang tahu kita bekerja keras, tapi siapa yang merasakan manfaat dari kerja keras kita."Karakter sejati adalah apa yang kamu lakukan ketika tak ada yang melihat.” — John Wooden