Rabu, H / 19 November 2025

Tawa yang Tertinggal di Pantry

Jumat 14 Nov 2025 20:36 WIB

Author :Hary Kuswanto

Tangkapan Layar

Foto: Dokumen Pribadi

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Aku masih ingat suara tawa mereka, riuh, ringan, tapi terasa getir di telingaku. Pagi itu, aku membuka pintu pantry lebih cepat dari biasanya. Biasanya, ruangan kecil itu dipenuhi aroma kopi instan dan suara sendok beradu di gelas. Tapi hari itu berbeda. Begitu aku masuk, tawa mereka mendadak berhenti. Hening seketika.


“Ada apa? Lanjut aja, santai,” kataku, mencoba tersenyum. Tapi ekspresi mereka seperti cermin yang retak, menyisakan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.


Aku tahu, mereka sedang membicarakanku. Entah soal rapat semalam yang memanas, atau tentang keputusan yang kuambil untuk menunda proyek mereka. 


Aku tidak marah, hanya sedikit kecewa. Ternyata aku kehilangan sesuatu yang dulu pernah ada, rasa tawa yang tulus antara atasan dan timnya.


Beberapa bulan terakhir, aku memang berubah. Bukan karena ingin menjadi sosok galak atau perfeksionis, tapi karena tekanan dari atas yang begitu besar. 


Target melonjak, anggaran dipotong, dan tanggung jawab menumpuk. Aku tak ingin gagal, dan tanpa sadar aku menuntut mereka terlalu keras.


Aku mulai mengingat, dulu kami pernah tertawa bersama di pantry yang sama. Aku ikut nimbrung saat mereka bercanda, membantu menuang kopi, bahkan ikut merayakan ulang tahun tim dengan kue sederhana. 


Tapi sekarang? Rasanya jarak kami melebar, meski meja kerja hanya dipisahkan dua langkah.


“Pak, laporan kemarin sudah saya revisi,” ujar Rani sambil menyerahkan map.


Aku hanya mengangguk, tanpa menatap matanya. “Terima kasih, ya,” suaraku datar.


Ia mengangguk kecil lalu pergi. Dan aku bisa merasakan, ada sesuatu yang hilang dari caranya melangkah.


Sore itu, aku sengaja menunggu semua orang pulang. Aku ingin sendiri. Ingin menenangkan kepala yang penuh target dan teguran. 


Saat menatap meja, mataku tertuju pada secarik kertas kecil bertuliskan, "Jangan lupa tersenyum, Pak. Kami rindu lihat Bapak ketawa.”


Entah siapa yang menulisnya, tapi tulisan itu menamparku lebih keras dari rapat direksi mana pun. Aku terdiam lama. Pandanganku kabur. Kertas itu kecil, tapi beratnya luar biasa.


Aku sadar, aku telah kehilangan tawa, bukan hanya mereka, tapi juga diriku sendiri.


Aku berdiri, melangkah ke pantry yang kini gelap. Mungkin ini gila, tapi aku membuat kopi sendiri, menuangnya ke gelas plastik, dan duduk di kursi yang biasa mereka pakai. 


Di dinding, masih tergantung foto tim kami saat outing dua tahun lalu. Aku tersenyum kecil. Di foto itu, aku tampak bahagia. Bukan karena jabatan, tapi karena kebersamaan.


Saat itu aku berpikir, mungkin kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling benar atau paling hebat, tapi siapa yang bisa menjaga suasana kerja tetap manusiawi. 


Aku terlalu sibuk mengejar hasil, sampai lupa bahwa mereka juga punya lelah, punya rasa.


Besoknya, aku datang lebih pagi. Aku sengaja menyiapkan termos air panas, beberapa bungkus kopi, dan sebungkus gorengan di pantry. Saat Rani dan beberapa tim datang, mereka tampak heran.


“Lho, Pak? Kok pagi-pagi sudah di sini?” tanya Rani sambil tersenyum kikuk.


Aku menatap mereka satu per satu, lalu berkata pelan, “Katanya kalian rindu lihat saya ketawa. Ya sudah, hari ini saya belajar lagi caranya.”


Mereka tertawa kecil, kali ini tulus. Dan aku ikut tertawa, meski masih canggung, tapi hangat. Mungkin beginilah awalnya memperbaiki sesuatu yang sempat retak, bukan dengan pidato, tapi dengan keberanian untuk mengakui diri sendiri.


Sejak hari itu, aku mencoba menyeimbangkan antara tuntutan dan kemanusiaan. Aku tetap tegas, tapi lebih banyak mendengar. Aku mulai menyapa dengan lebih tulus, bertanya kabar bukan sekadar basa-basi. 


Dan ajaibnya, performa tim justru meningkat. Karena ternyata, ketika orang merasa dihargai, mereka akan memberikan yang terbaik tanpa diminta.


Kini setiap kali aku masuk pantry, suara tawa itu kembali terdengar. Tapi kali ini, aku tidak hanya mendengar, aku ikut di dalamnya.


Kita sering lupa bahwa di balik target dan laporan, ada hati-hati yang bekerja dengan perasaan. Kepemimpinan sejati bukan hanya soal mengatur, tapi juga menjaga agar semangat tim tetap hidup agar tawa tetap terdengar, meski dunia kerja penuh tekanan.


Mari kita belajar menjadi manusia di tengah profesionalitas. Jadilah pemimpin yang menumbuhkan, bukan menakutkan. Jadilah rekan kerja yang menyembuhkan, bukan menghakimi. 


Karena pada akhirnya, keberhasilan bukan hanya tentang angka, tapi tentang hubungan yang tidak hilang meski badai datang.


"Manusia bekerja bukan hanya dengan otak dan tangan, tapi juga dengan hati.” — Mahatma Gandhi


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA