KISAH
#CeritaHKESQNews.id, JAKARTA - Sejujurnya, aku dulu takut sekali pada kritik. Bukan takut karena salah, tapi takut karena kritik sering datang seperti badai, keras, tiba-tiba, dan memporak-porandakan rasa percaya diri. Terutama ketika kritik itu datang dari bosku, Pak Ade. Suaranya tegas, tatapannya tajam, dan setiap kalimatnya seperti menguliti semua kekurangan yang coba kusembunyikan.Pagi itu, aku sudah tahu ada yang tidak beres. Pesan beliau masuk ke grup tim jam 06.03:"Rapat jam 09.00. Kita bahas laporan kemarin.”Tidak ada emotikon, tidak ada salam. Hanya begitu saja. Dan itu cukup membuat perutku mulas. Laporan kemarin memang belum sempurna. Aku bekerja sampai larut, tapi tetap saja ada bagian yang kosong.Saat rapat dimulai, udara rasanya menegang. Aku bisa mendengar bunyi detik jam terlalu jelas. Pak Ade membuka file di layar, lalu menatapku. Tatapan yang membuatku ingin menghilang.“Kenapa bagian ini belum lengkap?” suaranya rendah, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Saya… belum sempat menyelesaikan, Pak.”“Belum sempat?” suaranya naik satu oktaf. “Kamu tahu proyek ini penting? Kamu tahu efeknya kalau telat? Kenapa kamu tidak minta bantuan tim?”Aku terdiam. Ada panas di wajahku, campuran malu dan jengkel. Bukan hanya karena dimarahi, tapi karena seluruh tim melihatku seperti anak SD yang ketahuan tidak mengerjakan PR.“Pak, maaf. Saya akan perbaiki,” jawabku pelan.“Tolong jangan hanya janji,” katanya sebelum melanjutkan rapat.Sisa rapat itu berjalan hambar. Aku hanya mendengar separuh, sisanya berputar di kepalaku sendiri, antara ingin marah, ingin nangis, dan ingin membalas. Tapi tentu saja, aku hanya diam. Diam yang menyakitkan.Setelah rapat, aku keluar dengan langkah berat. Aku masuk pantry, berharap bisa meredakan hati dengan secangkir kopi. Tapi tangan gemetar saat menuang air panas. Tiba-tiba, Rina, rekan timku, masuk dan berkata pelan, “Kamu oke?”“Enggak,” jawabku jujur. “Tapi mau gimana? Bos memang gitu.”Ia duduk di sampingku. “Aku juga pernah dimarahin kayak tadi. Tapi aku belajar satu hal, kritik itu bukan tentang siapa kita, tapi apa yang bisa kita perbaiki.”Aku menatap Rina lama. Kata-katanya sederhana, tapi terasa menenangkan.Malam itu, aku pulang lebih lambat. Bukan karena lembur dipaksa, tapi karena aku memutuskan memperbaiki laporan itu dengan sepenuh hati. Dalam diam, aku mulai sadar sesuatu, mungkin selama ini aku terlalu takut salah. Terlalu takut dinilai kurang. Terlalu takut menghadapi suara tajam orang lain, sampai lupa bahwa kritik kadang adalah pintu kecil menuju versi terbaik diri kita.Esok paginya, aku memberanikan diri mengetuk pintu ruangannya.“Masuk,” katanya.Aku menyerahkan laporan yang sudah kupoles. “Ini revisinya, Pak.”Beliau membacanya lama. Lalu, tanpa kulihat sebelumnya, wajahnya melunak.“Ini bagus. Kamu perbaikan signifikan. Good job.”Aku mengangguk, tapi dadaku bergetar. Kapan terakhir kali aku mendengar pujian semacam itu?Setelah aku berdiri untuk pergi, beliau menambahkan, “Jangan takut kritik. Saya keras bukan karena benci, tapi karena saya tahu kamu bisa lebih baik.”Ucapan itu menembus pertahananku. Selama ini aku melihat kritik sebagai hukuman, padahal mungkin itu justru bentuk perhatian. Cara kasar seseorang untuk mengatakan “kamu berharga, dan saya ingin kamu berkembang.”Aku keluar ruangan dengan perasaan berbeda. Tidak lagi takut. Tidak lagi ciut. Untuk pertama kali, aku merasa kritik itu bukan musuh. Ia adalah cermin, kadang menyakitkan, tapi membuat kita melihat apa yang perlu dibersihkan.Sejak hari itu, aku berubah. Bukan karena bosku berubah, tapi karena caraku memaknai kritik yang berubah. Aku mulai bisa menerima teguran tanpa baper, dan memberi saran ke rekan tanpa takut disalahpahami. Anehnya, hubungan kami satu tim justru menjadi lebih sehat.Aku belajar bahwa dewasa bukan soal naik jabatan atau bertambah usia, tapi keberanian menerima kenyataan bahwa kita tidak selalu benar.Dan ketika kritik tak lagi menakutkan, dunia kerja mendadak terasa lebih ringan.Kritik sering terasa menyakitkan, tapi justru di situlah ruang tumbuh berada. Yang membuat kita runtuh bukan kritiknya, tapi cara kita memaknainya.Mari kita belajar menerima kritik sebagai pintu perubahan. Kita jadikan teguran sebagai bahan bakar untuk menjadi pribadi profesional yang lebih matang, lebih bijaksana, dan lebih kuat."Orang bijak belajar lebih banyak dari kritik daripada pujian.” — Benjamin Franklin