#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - “Kalau kalian mau kerja di sini, jangan banyak alasan!” suara Pak Adi menggema di ruang meeting. Tangannya menghantam meja, membuat beberapa kertas beterbangan.
Kami semua diam. Aku, sebagai ketua tim, hanya bisa menatap layar presentasi yang belum sempat kubuka.
“Deadline sudah jelas, target sudah ditetapkan. Kenapa masih banyak keterlambatan?!” lanjutnya dengan nada meninggi.
Aku ingin menjelaskan bahwa tim sudah bekerja tanpa henti selama dua minggu, bahkan akhir pekan kami habiskan di kantor. Tapi aku tahu, penjelasan hanya akan dianggap pembenaran.
“Baik, Pak. Kami perbaiki,” jawabku pelan.
Pak Adi menatapku tajam, lalu keluar dari ruangan tanpa menoleh. Pintu tertutup keras di belakangnya.
Hening.
Fira menatapku dengan mata berkaca. “Pak, kita udah kasih semuanya. Tapi rasanya... selalu salah.”
Aku menarik napas dalam. “Aku tahu, Fir. Tapi tolong, jangan menyerah.”
Malam itu kami tetap di kantor. Lembur lagi. Layar-layar monitor menyala bagai lilin di tengah kelelahan. Dito menahan kantuk sambil menyusun data, Andra memeriksa laporan dengan mata sayu.
Aku memandangi mereka satu per satu. Hatiku sesak. Kami semua seperti sedang berjuang di medan perang tanpa tahu kapan perang ini akan berakhir.
Beberapa hari kemudian, laporan kami akhirnya selesai. Lengkap, rapi, dan tepat waktu. Aku serahkan ke meja Pak Adi dengan harapan kecil akan ada apresiasi.
Sore itu, dia memanggilku ke ruangannya.
“Ade, saya sudah baca laporan kalian,” katanya tanpa ekspresi.
Aku menegakkan badan, mencoba menahan degup jantung.
“Bagus. Tapi masih belum sesuai standar saya. Ulangi bagian analisisnya.”
Aku terdiam. Rasanya seperti ditusuk dari belakang setelah berlari maraton.
Namun aku hanya menjawab, “Baik, Pak.”
Malam itu aku menatap langit dari jendela kantor. Di luar, lampu-lampu kota berkelip, seolah menertawakan rasa lelahku.
Aku berpikir, Apakah ini yang disebut profesionalisme? Atau sekadar kehilangan rasa manusiawi di balik ambisi perusahaan?
Aku lelah, tapi tak bisa menyerah.
Lalu aku teringat kalimat yang pernah dikatakan ayahku, "Nak, merdeka itu bukan berarti bebas melakukan apa saja. Merdeka itu ketika hatimu tetap baik, meski dunia sekitarmu tidak adil.”
Dan malam itu, aku tersadar, aku boleh kecewa, tapi tidak boleh kehilangan arah.
Esoknya aku datang dengan semangat berbeda. Aku mulai berbicara lebih hangat dengan tim.
“Aku tahu kita capek, tapi kita nggak sendiri. Yuk, saling bantu. Kita kerja buat saling kuat, bukan buat saling takut.”
Fira tersenyum kecil. Dito mengangguk. Untuk pertama kalinya, ruang kerja kami terasa hidup lagi.
Kami belajar untuk merdeka dalam arti yang sebenarnya, bukan dari boss, tapi dari rasa takut dan dendam yang menjerat.
Kami mulai bekerja bukan karena perintah, tapi karena niat.
Bukan karena tekanan, tapi karena tanggung jawab.
Dan entah kenapa, hasil kerja kami justru lebih cepat, lebih solid, dan lebih berjiwa.
Beberapa minggu kemudian, Pak Adi datang tanpa ekspresi seperti biasa. Tapi kali ini, dia berkata singkat, “Laporan kalian bagus. Lanjutkan.”
Hanya tiga kata, tapi cukup untuk membuatku tersenyum lega.
Aku menatap timku, wajah mereka bersinar meski lelah.
Merdeka ternyata bukan berarti tak punya boss. Merdeka adalah ketika kita bisa bekerja tanpa kehilangan kemanusiaan.
Merdeka bukan tentang berdiri sendiri, tapi tentang berjalan bersama.
Kita semua punya “Pak Adi” masing-masing dalam hidup ini, sosok yang menekan, menguji, bahkan membuat kita merasa kecil. Tapi lewat merekalah kita belajar arti keteguhan, kesabaran, dan empati.
Mungkin mereka tidak akan berubah. Tapi kita bisa memilih untuk tetap tumbuh, tanpa menjadi seperti mereka.
Karena sejatinya, kemerdekaan bukan tentang melawan, tapi tentang menjaga hati agar tetap merdeka, bahkan di bawah tekanan.
"Kebebasan sejati bukan berarti melakukan apa yang kita suka, tapi memiliki kekuatan untuk tetap memilih yang benar.” — Nelson Mandela



