#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - Pagi itu kantor terasa dingin bukan karena AC, tapi karena suasana hati kami. Wajah-wajah lelah menatap layar monitor tanpa semangat. Aku masih mengingat dengan jelas suara tegas Pak Arman, bos kami, di rapat semalam.
“Target bulan ini harus tercapai. Tidak ada alasan!”
Kalimat itu menghantam dada kami seperti ombak besar. Aku menunduk, berusaha menelan rasa jengkel. Kami sudah lembur seminggu, tapi yang terdengar hanyalah kekurangan.
Di sisi lain, aku tahu beliau juga ditekan oleh atasan di atasnya. Tapi tetap saja, cara beliau berbicara… terlalu keras, terlalu menekan. “Apakah kami dianggap mesin?” pikirku.
Hari-hari berikutnya terasa seperti perang diam-diam. Kami bekerja dengan wajah datar, hanya saling pandang tanpa kata. Tak ada lagi tawa di antara meja kerja. Hingga suatu malam, saat semua orang sudah pulang, aku melihat lampu ruangan Pak Arman masih menyala.
Rasa penasaran membawaku mengintip dari balik kaca. Di sana, beliau menatap layar penuh angka sambil memegang kepala. Di mejanya, ada bungkus nasi padang yang sudah dingin. Beliau tampak lelah, lebih lelah dari siapa pun di tim ini.
Entah apa yang membuatku masuk. Aku menawarkan secangkir kopi. Beliau menatapku sebentar lalu berkata lirih, “Kamu tahu, saya juga takut… takut gagal, takut mengecewakan kalian.”
Suaranya bergetar. Aku terdiam. Ternyata di balik tegasnya seorang pemimpin, ada kegelisahan yang sama, takut tidak cukup baik.
Sejak malam itu, aku mulai melihat beliau dengan cara berbeda. Bukan lagi sebagai ‘bos yang menekan’, tapi manusia yang sedang berjuang seperti kami.
Keesokan harinya, aku memutuskan memulai dari hal kecil, menyapa lebih ramah, menyampaikan laporan tanpa keluhan, dan menutup rapat dengan kalimat, “Kita bisa, Pak.”
Perlahan, atmosfer tim berubah. Suasana tak lagi tegang. Beliau mulai tersenyum. Bahkan suatu pagi, beliau berkata, “Terima kasih, kalian luar biasa.”
Aku belajar bahwa tidak semua tekanan datang dari niat buruk. Kadang, orang yang terlihat keras hanyalah seseorang yang tak tahu cara lain untuk menyampaikan beban.
Setiap orang di tempat kerja sedang berjuang dalam perannya masing-masing. Ada yang berjuang menahan emosi, ada yang berjuang demi keluarga, ada yang berjuang agar timnya tidak runtuh.
Mari kita berhenti saling menyalahkan dan mulai saling memahami. Karena tempat kerja bukanlah arena perang, tapi rumah di mana kita belajar menjadi manusia yang lebih sabar, kuat, dan bijak.
"Kita tidak bisa mengubah arah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar untuk mencapai tujuan." — Aristoteles



