Senin, H / 27 Oktober 2025

Tugas yang Tak Pernah Selesai

Minggu 26 Oct 2025 11:14 WIB

Author : Harry Kuswanto

Ilustrasi

Foto: freepik

#CeritaHK


ESQNews.id, JAKARTA - Hari sudah gelap ketika aku menatap layar laptop yang masih menyala. Jam dinding menunjukkan pukul 22.47, tapi email dari Pak Arman baru saja masuk. Subjeknya singkat, “Revisi lagi.”


Aku menarik napas panjang. Ini sudah revisi keempat. Semua dikerjakan dengan hati-hati, tapi seolah tak pernah cukup di matanya.


“Kalau kamu mau naik level, kamu harus sempurna,” katanya sore tadi di ruang meeting.


Nada suaranya datar, tapi tajam seperti pisau.


Aku mengangguk waktu itu, walau di dalam hati ada sesuatu yang retak.


Pagi berikutnya aku datang lebih awal, mencoba menenangkan diri dengan secangkir kopi dan lagu lembut di headset. Tapi suasana kantor tetap menegangkan. Timku, lima orang dengan wajah letih, duduk tanpa banyak bicara.


Fira menatapku, “Pak, kita lembur lagi malam ini?”


Aku menatap layar sebelum menjawab. “Sepertinya iya, Fir.”


Mereka tak protes. Hanya saling pandang dengan tatapan yang sama, pasrah.


Sore itu, saat semua sudah tampak lelah, Pak Arman muncul. Dengan langkah cepat, dia memeriksa hasil kerja kami.


“Apa ini sudah final?” tanyanya sambil menatap laptop Fira.


“Sementara, Pak. Kami masih review,” jawabku hati-hati.


Dia menggeleng pelan. “Saya minta hasilnya lebih tajam. Kalau begini, anak magang pun bisa.”


Kalimat itu seperti cambuk. Aku menunduk, menahan emosi. Timku ikut terdiam, seolah waktu berhenti.


Aku ingin bicara, ingin menjelaskan betapa banyak jam, energi, dan tenaga yang sudah kami curahkan. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan.


Karena aku tahu, melawan hanya akan memperpanjang luka.


Pukul satu dini hari, kami masih di kantor. Lampu hanya tersisa di meja kami. Di luar, hujan turun deras.


Dito, yang biasanya ceria, mendesah panjang. “Pak, kayaknya kalau tugas ini selesai pun... pasti ada tugas baru, ya?”


Aku tersenyum getir. “Iya, Dit. Namanya juga kerja.”


Tapi dalam hati aku bertanya, apakah kerja harus sesulit ini?




Dua minggu berlalu. Proyek besar itu akhirnya rampung. Kami menyerahkan laporan dengan lega, tapi rasa puas itu tak sempat tumbuh.


Pak Arman hanya berkata, “Baik. Minggu depan ada project baru. Persiapkan timmu.”


Tak ada ucapan terima kasih. Tak ada apresiasi.


Sepanjang perjalanan pulang, aku menatap lampu kota yang berkelip di antara hujan. Rasanya seperti simbol kehidupan, terang, tapi kadang menyakitkan di mata.


Di rumah, anakku yang berumur delapan tahun menungguku dengan mata setengah mengantuk.


“Ayah kerja terus, ya?” tanyanya pelan.


Aku memeluknya erat. “Iya, sayang. Tapi Ayah janji, besok pagi kita sarapan bareng.”


Malam itu aku menangis diam-diam. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku merasa kehilangan diriku sendiri di balik semua tugas yang tak pernah selesai.


Tapi di tengah kelelahan itu, aku tersadar.


Mungkin memang tidak semua boss lahir untuk memahami. Mungkin ada yang menekan karena mereka sendiri sedang ditekan. Mungkin mereka pun terluka, tapi menyalurkannya lewat ambisi.


Aku belajar satu hal, kita tidak bisa mengendalikan orang lain, tapi kita bisa mengendalikan makna dari setiap kejadian.


Sejak hari itu, aku memutuskan bekerja bukan hanya untuk menyelesaikan tugas, tapi untuk menemukan nilai dari prosesnya.


Aku mulai mendengarkan tim lebih banyak, memberi mereka ruang untuk tumbuh, bukan hanya menuntut hasil.


Dan perlahan, suasana tim berubah. Kami tetap lembur, tetap capek, tapi kini ada senyum kecil di antara kelelahan. Ada solidaritas yang membuat tekanan terasa lebih ringan.


Tugas memang tak pernah selesai. Tapi ternyata, kebahagiaan tidak perlu menunggu tugas berakhir.


Kini setiap kali aku membuka email revisi, aku tidak lagi merasa marah. Aku hanya tersenyum dan berkata dalam hati, "Baik, ini bagian dari latihan kesabaran yang Tuhan kirimkan hari ini.”


Karena mungkin... kesempurnaan yang sesungguhnya bukan tentang hasil kerja, tapi tentang hati yang tetap lembut di tengah tekanan.


"Kebesaran seseorang tidak terletak pada kekuatannya, tetapi pada kemampuannya menahan diri ketika dia punya alasan untuk marah.” — Mahatma Gandhi


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA