#CeritaHK
ESQNews.id, JAKARTA - Sudah tiga kali kalender di meja kerjaku berganti bulan, tapi satu hal tak pernah berubah, cuti yang tertunda. Setiap kali aku mengajukan izin, selalu saja ada alasan baru. Proyek penting, laporan mendadak, audit internal, atau yang paling klise: “Tim belum siap kalau kamu pergi.”
Aku menarik napas panjang di kursi ruang meeting sore itu. Di depanku duduk Pak Dimas, bossku, sosok yang dikenal ambisius, tapi juga perfeksionis tanpa kompromi.
“Ade, saya tahu kamu capek. Tapi ini masa kritis. Setelah ini, kamu bebas cuti berapa pun,” katanya dengan nada meyakinkan.
Kalimat itu sudah kuhafal. Ulangannya lebih sering daripada briefing pagi.
Aku tersenyum kaku, menahan perih di dada yang menumpuk dari minggu ke minggu. “Baik, Pak.”
Padahal, hari itu aku seharusnya terbang ke Bali. Tiket sudah di tangan, villa sudah dibayar. Tapi semuanya kembali jadi rencana.
Malam itu aku menatap layar laptop dari ruang tamu, ditemani suara hujan dan notifikasi grup kantor yang tak berhenti. “Lembur dulu, Ade. Besok presentasi harus siap.”
Hatiku ingin menjerit. Tapi entah kenapa jari-jariku malah mengetik, ‘Baik, Pak.’
Di sisi lain layar, anakku yang baru berumur enam tahun bertanya polos, “Ayah jadi liburan nggak?”
Aku terdiam. Hanya bisa mengelus rambutnya dan berkata, “Nanti ya, sayang. Setelah pekerjaan Ayah selesai.”
Padahal aku tahu, pekerjaan itu tak pernah selesai.
Tiga hari kemudian, aku datang lebih pagi dari biasanya. Timku sudah mulai tampak lelah. Wajah mereka seperti cermin dari diriku sendiri. Fani terlihat menahan kantuk, Dito bahkan lupa sarapan, dan Andra hanya menatap kosong ke layar.
Tiba-tiba pintu terbuka. Pak Dimas masuk dengan ekspresi tegas.
“Kenapa laporan belum dikirim? Ini sudah lewat deadline.”
Suasana langsung menegang. Tak ada yang berani bicara.
Aku menatapnya, berusaha tenang. “Pak, kita baru dapat revisi mendadak semalam. Tim sudah bekerja sampai jam dua pagi.”
Tapi jawabannya membuat dadaku sesak.
“Itu bukan alasan. Kalau kamu pemimpin yang baik, semua sudah siap sebelum revisi datang.”
Kata-katanya seperti peluru. Tak ada darah yang keluar, tapi lukanya dalam.
Fani menunduk. Dito menatapku, seolah berkata, “Sudah cukup, Pak.”
Aku ingin membela mereka, ingin mengatakan kalau kami sudah berkorban waktu, tenaga, bahkan kebahagiaan. Tapi aku tahu, perlawanan hanya akan memperpanjang luka.
Jadi aku memilih diam.
Hari berganti minggu. Proyek selesai dengan hasil memuaskan. Tak ada ucapan terima kasih, hanya email singkat, “Good. Lanjut ke project berikutnya.”
Malam itu aku duduk di teras rumah, menatap langit yang seolah ikut lelah.
Aku berpikir, untuk apa semua ini? Gaji, penghargaan, posisi? Apakah sepadan dengan waktu bersama keluarga yang terampas?
Tapi di tengah keheningan itu, muncul kesadaran kecil, mungkin Tuhan sedang mengujiku untuk belajar melepaskan ekspektasi dan menemukan arti ketenangan dalam kesibukan.
Aku tak bisa mengubah Pak Dimas. Tapi aku bisa mengubah caraku memandangnya.
Mungkin dia juga punya beban yang tak terlihat. Mungkin ambisinya lahir dari ketakutan kehilangan kepercayaan atasan di atasnya.
Esoknya aku datang ke kantor dengan hati yang berbeda.
Aku tak lagi berharap liburan sebagai pelarian, tapi menjadikannya tujuan yang bisa kutunda tanpa kehilangan kebahagiaan hari ini.
Aku mulai mengajak tim tersenyum di tengah tekanan. Membelikan kopi kecil untuk mereka yang lembur. Mengucapkan terima kasih meski bukan dari boss.
Dan entah kenapa, sejak itu bebanku terasa lebih ringan.
Liburan masih tinggal rencana. Tapi ketenangan, kini sudah mulai nyata.
Malam itu, aku menulis satu kalimat di sticky note dan menempelkannya di meja kerja, "Kita tidak bisa memilih cuaca di luar, tapi kita bisa memilih cuaca di dalam hati.”
Aku belajar bahwa kebahagiaan bukan soal tempat, tapi tentang penerimaan dan makna di balik perjalanan.
Dan mungkin, liburan sejati adalah saat kita berdamai dengan diri sendiri.
"Kebahagiaan bukan sesuatu yang sudah jadi. Itu berasal dari tindakan-tindakan kita."
— Dalai Lama




