ESQNews.id, JAKARTA - Ketua Forum Konservasi Orangutan Sumatera (FOKUS) Kusnadi Oldani mengatakan pembangunan PLTA ini berlokasi persis di habitat orangutan Tapanuli. Lokasi ini memiliki kepadatan orangutan paling tinggi di Batang Toru, 26-57 persen. Kusnadi mengatakan habitat orangutan hanya berada di Indonesia dan Malaysia. Orangutan Tapanuli bahkan hanya berada di ekosistem Batang Toru.
Orangutan Tapanuli, tutur Kusnadi, baru ditemukan November 2017 lalu, dengan populasi yang amat terbatas, tak sampai 800 ekor. Tanpa adanya PLTA pun, menurut Kusnadi, kehidupan orangutan Tapanuli terancam punah. Ini merupakan jenis orangutan yang paling lambat berkembang biak. Dengan amsa reproduksi di usia 15 tahun dan jarak kehamilan sekitar 8-9 tahun, artinya orangutan ini hanya akan beranak 2-3 kali dalam hidupnya.
“Statusnya kritis,” kata dia.
Selain itu, ujar Kusnadi, kehidupan orangutan Tapanuli amat bergantung pada hutan. Hutan menjadi habitat dan sumber makanan. Mereka tak bisa pula hidup tanpa pohon, sekaligus menghindari interaksi dengan manusia. Saat ini, kata Kusnadi, populasi orangutan Tapanuli terbagi dalam tiga wilayah. Di Blok Barat, terdapat sekitar 600 ekor, Blok Timur, 160 ekor dan Sibualbuali 30 ekor. Pembangunan PLTA membelah Blok Timur dengan Blok Barat dan Sibualbuali.
Dengan habitat terisolasi dan polupasi terbatas itu, ujar Kusnadi, orangutan akan kawin sedarah. Dampak berikutnya, mereka akan melahirkan anak cacat dan tidak produktif.
“Tak sampai 9 tahun mereka akan punah,” kata dia.
Selain itu, ujar Kusnadi, sepanjang pembangunan PLTA, lalu lintas alat berat akan mengganggu kehidupan orangutan. Mereka pun terancam menjadi target perburuan, seiring beroperasinya PLTA.
Pegiat Walhi Golfrid Siregar mengatakan WALHI bersama 34 orang pengacara menggugat NSHE ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) 8 Agustus 2018 lalu. Dengan tuntutan dua hal, yaitu meminta pemerintah untuk menunda pembangunan PLTA yang sedang berjalan, sekaligus meminta pemerintah membatalkan pemberian izin pembangunan PLTA itu.
Golfrid menerangkan jika masyarakat menolak menjual lahannya ke perusahaan karena ganti rugi yang diberikan amat rendah, hanya sepertiga dari harga seharusnya. Namun mereka tak memiliki pilihan lain dengan adanya ancaman, jika menolak, uang ganti rugi akan dibayarkan lewat pengadilan.