Wawancara Ekslusif FKA Banten. Semangat dalam Membumikan Nilai 165
Raungan mesin pemotong kayu menjadi penyambut kami di jalan setapak menuju tengah hutan. Semakin dalam, semakin jelas terdengar. Raungan itu semakin keras, disambut oleh suara berdebum jatuhnya batang pohon besar, mematahkan ranting-ranting ringkih di bukit-bukit desa Kadubeureum, Kecamatan Padarincang, Serang Banten.
“Hei, kamu nebang pohon lagi ya? Ingat apa pesan saya, kalau menebang, berarti menanam sepuluh,” Haji Embay keras menegur salah seorang warga yang mengenakan motor, membawa balok-balok kayu di kiri dan kanan motornya.
Sepeda motor model RX King yang sudah dimodifikasi untuk menggotong kayu itu seperti motor trail. Seorang pengendaranya tersenyum, kemudian meminta maaf kepada Haji Embay dan melanjutkan aktivitasnya menggotong kayu ke pusat desa.
Kegiatan penggundulan hutan di bukit-bukit Padarincang sudah berlangsung lama. Haji Embay bercerita, aktivitas penebangan pohon sudah berlangsung sejak tahun 2005. Ironisnya, aktivitas tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar. Tak ada lain, alasan ekonomi menjadi faktor utama masyarakat ingin bermusuhan dengan alam.
Embay Mulya Syarif, atau akrab disapa Haji Embay merupakan salah satu sosok pendiri provinsi Banten dan juga tokoh masyarakat yang berpengaruh di Banten. Melihat hal tersebut membuat dia gusar, tak tahan dengan manusia-manusia yang mencoba memancing emosi alam tersebut.
Sebagai seorang tokoh masyarakat dan juga Alumni dari ESQ, Haji Embay bersama Ketua Forum Komunikasi Alumni ESQ Banten, Kuswanto mencoba mencarikan jalan keluar dari persoalan tersebut.
Ketua FKA ESQ Banten, Kuswanto.
“Idenya pak Kuswanto, ada ide rada-rada gila,” jelas Haji Embay.
Walaupun dikata gila, kampung yang menjadi pelita di tengah belantara itu akhirnya terwujud. Bernama kampung 165, terletak di salah satu spot perbatasan antara Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang. Seperti pelita, Kampung itu kini menjadi harapan atas ketimpangan masyarakat di kecamatan Padarincang.
“Memang bagaimana pun juga masyarakat perlu makan, mereka menebang pohon untuk mencari nafkah, bekerja. Karena pemilik lahan tidak tinggal di sini. Masyarakat di sini diminta untuk menebang pohonnya. Kita bisa lihat bagaimana masyarakat mengangkut kayu. Jadi saya khawatir kalau dibiarkan, ini bisa merusak lingkungan. Dari daerah sini ada 12 anak sungai yang bermuara ke muara danau, dan menjadi sumber air ke masyarakat dan kawasan industri di Banten,” kata dia.
Isu ekonomi, lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat menjadi isu utama pembangunan kampung 165. Ide-ide tersebut perlahan menjadi tindakan nyata. Beberapa isu krusial seperti kerusakan lingkungan menjadi tindakan utama dari Haji Embay dan kawan-kawan. Penyadaran masyarakat untuk merawat alam menjadi penting. Tidak hanya sekedar alasan ekonomi, tetapi keberlangsungan dan hajat hidup orang banyak bukan hanya dari desa Kadubeureum, tapi juga mata air menuju hilir yang dibutuhkan oleh orang banyak di pusat Kabupaten dan Kota.
“Rawa danau juga semakin dangkal, karena adanya sedimentasi. Akibat karena hutannya rusak, hujan dan lumpurnya masuk ke (waduk) Rawa Danau sehingga saat ini semakin dangkal,”
Peduli tanpa mengubah akan memiliki arti yang hampa. Haji Embay mengambil tindakan untuk mengumpulkan masyarakat sekitar akan bahaya aktivitas penebangan liar ini jika diteruskan. Inovasi-inovasi dikembangkan agar masyarakat sekitar bisa berpenghasilan dengan cara tidak merusak lingkungan.
FKA ESQ kemudian menggelar temu warga, dan juga memberikan training ESQ kepada warga masyarakat sekitar untuk menanamkan sikap tujuh Budi Utama, baik itu untuk sesama, juga untuk alam semesta.
“Allah menciptakan air dengan sistem yang teratur dan tertata rapi. Manusia hanya bisa menjaga apa yang sudah diberikan oleh Allah di bumi ini,” kembali Haji Embay memberikan petuahnya.
Sosok Haji Embay memang disegani di masyarakat Banten. Sosok penuh karisma ini memberikan perubahan yang begitu banyak untuk masyarakat Banten, khususnya di kampung 165 tersebut.
Pria yang berusia 66 tahun ini memberikan nasehat kepada warga sekitar untuk segera sadar, apa yang dilakukan selama ini sama saja memenggal rantai kehidupan di masa depan. Haji Embay melanjutkan, Allah memelihara air dengan siklus dan mengembalikannya ke gunung dan hutan. Gunung itu seperti watertoren raksasa, air yang ditangkap, disimpan di sela-sela akar pohon, dialirkan menjadi mata air dan menjadi sungai.
Tokoh Masyarakat yang juga Alumni ESQ, Haji Embay Mulya Syarief (berkopiah putih)
Kemudian dia mengucapkan salah satu pepatah orang Baduy.
“Gunung teu meunang dilebur, yang artinya gunung tak boleh dirusak, itu salah satu filosofi Baduy yang paling utama. Karena memang gunung merupakan watertoren raksasa yang mengatur ketersediaan air. Ketika gunung dirusak, kemudian hutan rusak, kita rasakan banjir di mana-mana. Kota Cilegon yang tidak pernah banjir jadi kebanjiran,” kata Haji Embay.
Pemahaman-pemahaman tersebut terus diulang oleh rekan-rekan FKA ESQ hingga masyarakat mulai menitikan air mata di suatu training yang diadakan FKA di Kampung 165. Setelah sadar, masyarakat bertanya langkah selanjutnya apa, dan bagaimana penghidupan mereka? Pasti ada cara untuk membuat roda perekonomian tetap berjalan. Ide membuat kampung wisata kemudian muncul. Bersama dengan warga sekitar kampung mulai dibangun.