Oleh: M. Nurroziqi (Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya)
ESQNews.id, SURABAYA - Kita sudah memasuki pada sepuluh hari kedua di bulan Ramadhan ini. Adakah perubahan di dalam diri kita? Sudahkah menjadi manusia yang lebih baik dari bulan-bulan kemarin?
Mari kita renungi sejenak akan ibadah tahunan ini. Mari kita koreksi kembali apa yang sudah dihasilkan dari berpuasa yang pasti setiap tahun kita jalani ini. Untuk apa? Tentu, supaya sepanjang menjalani puasa benar-benar membekas di dalam diri kita, benar-benar bisa mengubah diri dan kehidupan kita. Sehingga, dalam menjalankan puasa tidak hanya mendapatkan lapar dan haus saja.
Jika kita memahami puasa secara luas, maka laku puasa tidak hanya dikenal di kalangan kaum Muslim. Tetapi, di agama apapun ada laku yang disebut puasa. Ya tentu saja, berpuasanya dengan tata cara yang berbeda, sekaligus peruntukkannya juga tidak sama.
Begitu pun bangsa kita, sebelum Islam masuk, berpuasa sudah menjadi laku spiritual yang seringkali dilakukan untuk mencapai tataran-tataran tertentu dalam berkehidupan. Dan sejak dulu, berpuasa sudah dikenal sebagai aktivitas yang tidak semata menahan lapar dan haus serta berkumpulnya suami-istri. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, berpuasa adalah segala daya upaya di dalam mengondisikan diri agar mudah meraih segala kebaikan di dalam diri itu sendiri.
Orang-orang Jawa dulu, atau mungkin dari bangsa manapun, puasa dijalankan sebagai sarana untuk menguasai ilmu tertentu. Menjadi lebih sakti dan digdaya dari sebelumnya. Puasa adalah syarat mutlak.
Ada beragam jenis puasa yang dikenal di tradisi masyarakat Jawa. Ada puasa patigeni, ada puasa mutih, ada puasa ngrowot, ada puasa mbisu, dan lain sebagainya. Semuanya, tidak lain adalah dalam rangka mengkondisikan diri supaya mudah mencercap daya kekuatan tertentu untuk kemudian dijadikan kehebatan diri.
Tidak hanya manusia, binatang pun, ada siklus kehidupannya yang serupa dengan puasa. Yang paling terkenal adalah berprosesnya ulat menjadi kupu-kupu. Binatang yang semula menakutkan bagi kebanyakan orang. Lantas "ngentung", membungkus diri menjadi kepompong, dalam rentang beberapa waktu kemudian lahirlah menjadi makhluk baru yang disebut dengan kupu-kupu.
Siapa yang tidak suka dengan hadirnya kupu-kupu? Saking membahagiakannya kupu-kupu, sehingga menjadi pertanda baik jika kupu-kupu ini masuk ke dalam rumah seseorang.
<more>
Lantas, bagaimana dengan puasa Ramadhan yang sedang kita jalani ini?
Yang pertama, jelas pengkondisian diri agar kembali ke lajur penuh kebaikan. Kebaikan itu tidak serta merta bisa dilakukan bahkan dinikmati begitu saja. Melainkan ada proses pembiasaan terlebih dahulu di dalamnya. Nah, antara satu bulan puasa dengan bulan puasa berikutnya, tidak jarang dari kita yang sedikit goyah dan tidak lagi istiqomah.
Jamaah jarang, tadarus Al-Qur'an kurang, sholat malam kadang-kadang, berbaik-baik dengan sesama dan saling membantu terhadap semua orang tidak sempat dilakukan. Maka, di bulan puasa Ramadhan, segala macam kebaikan yang sudah tidak dijalankan secara istiqomah itu dibiasakan kembali.
Di dalam pembiasaan-pembiasan kembali ini perlu daya tarik khusus supaya manusia bisa menjalankan dengan sangat antusias. Untuk itu, di setiap bulan puasa, Allah SWT obral pahala. Kebaikan sekecil apapun, akan dinilai berlipat ganda pahalanya. Neraka ditutup rapat, pintu surga dibuka seluas-luasnya, dan syetan dibelenggu. Itu pun masih dikasih bonus dengan Lailatul Qodar, satu malam yang nilainya jauh lebih mulia dibanding seribu malam.
Akan tetapi, yang juga perlu kita perhatikan, bahwa di bulan puasa yang sedemikian meriah dengan pahala-pahala yang dilipatgandakan, adalah juga berlaku sebaliknya. Setiap hal yang tidak baik yang dikerjakan di bulan puasa, dosanya pun akan dilipatgandakan juga.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya umatku tidak akan terhina, selama mereka mendirikan bulan Ramadhan."
Sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apa bentuk kehinaan mereka dalam menyia-nyiakan bulan Ramadhan?"
Rasulullah menjawab, "Pelanggaran terhadap hal-hal yang haram pada bulan Ramadhan, seperti zina atau minum khamar. Allah dan para malaikat melaknatnya hingga tahun berikutnya. Jika ia meninggal sebelum bulan Ramadhan berikutnya, maka ia tidak mempunyai kebaikan apa pun di sisi Allah yang bisa menyelamatkannya dari neraka. Oleh sebab itu, berhati-hatilah terhadap bulan Ramadhan, karena pahala kebaikan demikian juga ganjaran kejelekan akan dilipat gandakan." (HR. Imam At-Tabrani).
Hal ini, tidak lain adalah dalam rangka pengkondisian diri manusia itu sendiri. Supaya benar-benar kembali di jalur kebaikan-kebaikan. Sehingga, di bulan-bulan berikutnya akan tetap iqtiqomah di dalam kebaikan. Jika kebaikan di dalam diri sudah menjadi satu kebiasaan, maka di dalam menjalankan pun akan menjadi sangat ringan, dan akan sangat mudah menikmati kebaikan itu sendiri.
Dan yang kedua, jika manusia sudah terkondisikan baik, terbiasa baik, dan menikmati segala hal yang baik-baik, maka berpuasa akan bisa mengantarkan mencapai kualitas manusia bertaqwa. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT bahwa diwajibkannya berpuasa tidak lain supaya menjadi manusia bertaqwa.
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al-Baqarah: 183).
Dengan demikian, berpuasa, seharusnya tidak lagi hanya sekadar memindah jadwal makan. Tidak semata menertibkan jadwal makan. Tetapi, adalah satu ritual untuk proses perbaikan-perbaikan diri secara ruhani. Sedang, manfaat sehat secara jasmani dengan puasa adalah bonus atas ke-Maha Pemurah-Nya Allah SWT. Yang pasti, endingnya adalah menjadi manusia bertaqwa.
Semoga kita semua dapat menjalani puasa Ramadhan di tahun ini dengan sebaik-baiknya. Sehingga benar-benar dapat meningkatkan kualitas kepribadian kita. Amin.