ESQNews.id, JAKARTA - Allah
bicara melalui tanda-tanda alam. Kebakaran hutan. Panasnya cuaca, dan perasaan
getir ketika orang menghujat agama yang kuanut. Semua datang bersamaan. Namun
ketika kebakaran mereda, cuaca berangsur hangat, kami bisa berjalan bersama.
Kamis, 12 Oktober cuaca di kota Hobart, Tasmania,
terasa sangat panas dengan temperatur 38 derajat. Sedemikian panasnya, hingga
terjadi kebakaran di Mount Nelson dan sekitar Eastern Shores akibat
ranting-ranting yang terbakar. Dalam cuaca yang sangat panas itu, saya yang
sedang menunaikan ibadah puasa, merasa lemas sekali. Tenggorokan pun terasa
kering, bahkan mungkin badan mengalami dehidrasi.
Namun, saya tetap harus berangkat ke kampus University of Tasmania yang kebetulan berada di atas bukit. Saya mendapat
tugas untuk memberi responsi atas presentasi dari seorang teman saya yang
bernama Luke Stephenson untuk mata kuliah Asian Studies.
Mata kuliah itu diberikan melalui Video Link
karena dosen pengajarnya berada di kota lain yaitu di Launceston. Saat itu, di
kampus Hobart bersama saya ada 10 orang mahasiswa, dan di Launceston ada 5
orang bersama seorang dosen Dr. Marshal Clark, pengganti Prof. Barbara Hatley
dosen yang selama ini mengajar saya.
Sebelum memulai presentasi dengan judul Media, Democratisation and anti-Porn Law
Resistance in Indonesia Luke mengatakan bahwa presentasinya akan sangat
bersifat offensive (baca: sinis)
terhadap salah satu agama. Mendengar pernyataan itu, hati saya langsung
berdebar-debar karena ada sedikit kekhawatiran bagaimana seandainya saya tidak
sanggup mengatasinya karena saya tahu agama yang ia maksud adalah Islam.
Di awal presentasinya, dia banyak menayangkan
gambar-gambar radikalisme Islam yang dilakukan oleh berbagai pihak di Tanah
Air. Dia menggambarkan Islam sama dengan kekerasan, dengan gaya yang sangat
sinis. Dapat dibayangkan, betapa hati saya pada saat itu sebagai satu-satunya
orang Indonesia dan satu-satunya muslim di antara teman-teman sekelas, yang
mendengarkan agamanya dipojokkan sedemikian rupa. Yang dapat saya lakukan pada
saat itu, hanyalah menata hati dan pikiran saya. Pikiran saya harus
mendengarkan secara rinci presentasi Luke. Saya bertekad untuk tetap menjaga sikap
agar benar-benar mencerminkan seorang muslim yang jauh dari deskripsi dia.
Dalam hati, saya berdoa agar mendapatkan kesempatan untuk menanggapi presentasi
Luke. Saya ingin menjelaskan bahwa Islam adalah universal, pembawa kedamaian
dan kesejukan, bukan seperti yang ia gambarkan.
Seusai Luke memberikan presentasinya, ia bertanya
kepada audiens bahwa apakah ada yang beragama Islam di ruangan itu. Saya pun
menunjuk tangan. Luke kelihatan sangat terkejut. Mungkin dia merasa tidak enak
karena telah memojokkan Islam, padahal ada orang Islam yang duduk begitu dekat
dengannya. Saya duduk tepat di sebelah kirinya.
Tidak lama kemudian, melalui video, Marshal memuji bahwa presentasi Luke sangat bagus. Ia mempersilakan murid yang bertugas merespon pada saat itu untuk segera menjalankan tugasnya. Ketika saya kembali menunjuk tangan dan menyadari bahwa sayalah satu-satunya yang akan merespon Luke (karena suatu hal, Nicole, teman saya yang juga bertugas merespon, tidak dapat hadir). Semua orang yang hadir di Hobart dan Launceston termasuk Marshal, tercengang. Luke juga terlihat terbelalak karena memang tidak ada seorang pun yang mengira hal ini akan terjadi. Hanya Barbara yang mengetahui jadwal responsi, suatu kebetulan yang benar-benar terstruktur, Allahu Akbar!