ESQNews.id, ARAB SAUDI - Masa tinggal di sekitar Masjid Haram tanpa terasa sudah habis. Saya dan jamaah lainnya dari ESQ Tours Travel harus pindah ke hotel transit di daerah sekitar Armuzna (Arofah, Musdalifah, dan Mina). Pindah ke hotel transit ini selain upaya mendekati Armuzna juga karena tarif hotel di sekitar masjid Haram naik berlipat-lipat ketika mendekati hari wukuf. Pindah ke hotel transit adalah pilihan yang realistis dan dibenarkan oleh regulasi.
Di hotel transit ini jamaah tidak dilepas oleh ESQ, melainkan di pesantren kilat-kan. Tujuan pesantren kilat tersebut adalah untuk memantapkan manasik yang selama ini sudah dilaksanakan untuk menyambut hari H haji.
Pesantren kilat kegiatannya cukup padat. Pertama, shalat dan dzikir bersama. Lima shalat waktu dilaksanakan secara berjamaah oleh seluruh jamaah dan diakhiri dengan dzikir bersama. Kegiatan ini diawali dengan adzan dan biasanya dilanjutkan dengan menyenandungkan puji-pujian sembari menunggu imam. Baik muadzin maupun imamnya bersuara merdu.
Adzan dikumandangkan dengan indah dan bacaan surah dalam shalat dibacakan dengan tartil indah hingga bisa membuat jamaah terutama saya betah berlama-lama berdiri. Selesai shalat dilanjutkan dengan dzikir bersama yang dipimpin imam, dan makmum mengikuti dengan khusuk.
Suara imam dan makmum berkumandang lembut dan enak didengar. Senandung puji-pujian sebelum shalat dan gemuruh lembut suara dzikir dan doa pasca shalat mengingatkan saya pada suasana di tanah air. Aktivitas tersebut sepertinya sangat khas Indonesia. Ketika saya shalat di masjid Nabawi maupun Masjid Haram, tidak saya temui senandung puji-pujian sebelum shalat dan dzikir bersama pasca shalat.
Untuk meningkatkan dan memantapkan pemahaman jamaah akan haji, pesantren ini menghadirkan tiga narasumber handal: Dr. Abdul Adzim Irsyad, KH Cholil Nafis, Lc. Ph.D, dan Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian.
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian, the owner sekaligus the founder of ESQ, adalah narasumber yang mengawal pesantren ini dengan sangat intensif. Hampir di semua sesi beliau selalu ada. Beliau mengisi pasca shalat subuh. Sesi beliau disebut pemaknaan.
Selama ini saya bertanya-tanya mengapa disebut pemaknaan? Mengapa tidak pengajian, kultum, kulsum, atau istilah lain yang khas untuk acara serupa. Setelah mengikuti ceramahnya, saya baru tahu mengapa disebut pemaknaan.
Disebut pemakanaan karena isinya membahas tentang hakikat alias the nature of something. Jika di kajian fiqih dibahas bagaimana urutan berhaji, maka di pemaknaan dibahas bagaimana berhaji yang sejatinya. Dalam pemaknaan tanggal 2 Juni 2025, Pak Ary Ginanjar menganalogikan rukun Islam adalah cabang dan rukun Iman adalah batang.
Cabang akan kuat hanya jika pohonnya kuat. Maka, haji akan benar dan berdampak hanya jika dilandasi keimanan yang kokoh. Tanpa keimanan yang kuat, haji tidak akan membekas dan tak berdampak. Itulah mengapa banyak orang yang ber-umroh dan berhaji tetapi degradasi moral tetap masif.
Dalam pemaknaan, jamaah digiring untuk berfikir kritis sekaligus digiring untuk menciptakan jiwa penghambaan total terhadap Ilahi. Ke-kritisan berfikir dan penerimaan akan ketetapan Ilahi dicontohkan dengan mengutip ayat 260 dari Surah Al-Baqarah tentang Nabi Ibrahim yang meminta Allah memperlihatkan bagaimana Ia menghidupkan orang mati.
Berangkat dari ayat itu, Pak Ary Ginanjar sangat menghimbau jamaah untuk berdoa kepada Allah supaya diberi keimanan yang menghunjam layaknya Allah telah hunjamkan keimanan kepada Nabi Ibrahim.
Melalui pemaknaan, jamaah seperti diajak berselancar secara akademik dan spiritual. Apa yang disampaikan dan cara penyampaiannya bisa mengaktifkan simpul-simpul pikiran yang mati dan menebalkan keimanan yang mulai menipis. Inilah salah satu poin yang bisa membuat pesantren kilat ini sangat bermakna.
<more>
Lalu, Ustadz Abdul Adzim Irsyad mengisi kajian setelah shalat isya' dengan topik random dan cenderung practical. Doa yang biasanya dipanjatkan ketika haji, wudhu dengan air minimal, dan menjaga konsistensi dalam beribadah adalah topik yang saya ingat dengan baik.
Suaranya yang khas, diksi yang sederhana, tata kalimat yang teratur, jokes ringan yang sering diselipkan di tengah-tengah ceramah menjadikan ceramahnya mudah dipahami dan enak diikuti. Doa dwi bahasa yang beliau bacakan ketika memimpin doa menjadikan doa terasa sangat mengena di hati hingga suara "amin" dari jamaah selalu kencang.
Doa minta berkah terhadap anak, keluarga, kesehatan, pekerjaan, negara, pemimpin, adalah sebagian yang selalu beliau panjatkan dan selalu disambut "amin" yang bergemuruh oleh jamaah. Selain itu, aksen Jawa Timur dan bahasa walik'an khas kota Malang yang sesekali muncul di sela-sela ceramahnya membuat saya at home.
Kyai Cholil Nafis adalah narasumber yang mengisi tentang fiqih haji dengan jadwal pasca shalat ashar. Dengan gayanya yang khas, Kyai Nafis menjelaskan banyak tentang haji dengan urutan-urutannya.
Selain urutan, beliau juga menunjukkan dalil sebagai dasar pelaksanaan tiap tahapan haji. Thawaf adalah salah satu topik yang beliau jelaskan dengan sangat gamblang dan meyakinkan. Beliau menyebut bahwa 7 kali putaran bukanlah kebetulan karena banyak fenomena alam dengan pola tujuh. Langit dan bumi ada 7 lapis, jumlah hari ada 7, ummul kitab Al-Fatihah berjumlah 7 ayat adalah sebagian dari pola tujuh. Maka, yakinlah bahwa Allah pasti memiliki maksud baik di balik perintah thawaf.
Selain tentang fiqih haji, Kyai Cholil Nafis sering mengingatkan jamaah untuk berhati-hati dalam menjaga hati supaya riya' tidak masuk. Semenjak manasik di Aston Hotel Bogor beliau wanti-wanti bahwa media sosial sering menjadi pintu masuk riya' yang sering tidak kita sadari. Pengingat seperti ini memang sangat kita butuhkan karena media sosial memang sangat menggoda siapapun untuk bisa unjuk aktivitas ke dunia tentang apapun.
Seperti halnya Ustadz Abdul Adzim yang bikin saya at home, Kyai Cholil Nafis juga bikin saya nyaman di pesantren ini karena beliau cukup inklusif terhadap semua golongan.
Dalam menutup ceramahnya, beliau hampir selalu menggunakan cara NU dan Muhammadiyah. Sebagai Nahdliyin, ketika akan mengakhiri ceramahnya beliau tidak pernah lupa menyebut wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq yang bermakna "Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya."
Namun sepertinya beliau sadar bahwa jamaah ESQ tidak semua Nahdliyin, dan karenanya beliau juga membunyikan penggalan dari QS. Ash-Shaf ayat 13 yang berbunyi nashrun minallahi wa fathun qarib yang artinya pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Menyebut ayat ini dalam menutup ceramah adalah tradisi di Muhammadiyah. Inilah yang membuat saya at home karena keberadaan saya seperti dianggap ada.
Pesantren kilat yang diselenggarakan oleh ESQ bukan sekadar pelengkap perjalanan menuju wukuf, melainkan ruang spiritual yang mempertemukan kembali makna ibadah dengan kedalaman jiwa.
Di tengah kepadatan agenda dan fisik yang mulai lelah, hadirnya para narasumber yang kompeten dan cara penyampaian dengan keunikan masing-masing menjadikan pengalaman ini terasa sangat personal dan penuh makna.
Dengan belajar di pesantren ini, saya semakin menyadari bahwa berhaji bukan hanya tentang menyempurnakan rukun dan syarat, tetapi juga tentang membangun ulang fondasi keimanan, memperbaiki niat, dan menata hati agar benar-benar hanya tertuju pada-Nya.
Dalam jeda antara Masjidil Haram dan Armuzna, saya menemukan ruang kontemplasi yang memperjelas arah: bahwa haji sejatinya bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan menuju diri yang baru, lebih berserah, lebih sadar, dan semoga, lebih bertakwa.
Hotel Transit, 4 Juni 2025 (Nurul Chojimah)