Oleh: Ary Ginanjar Agustian (Founder ESQ Group, tahun 2012)
ESQNews.id, JAKARTA - Saya mengirimkan Tenaga Konsultan saya untuk ikut sebuah konferensi di Cape Town minggu lalu. Ada yang menarik dari Konferensi Internasional yang diadakan Barrett Values Center di Afrika Selatan itu yang baru berlangsung 19-21 September 2012 lalu.
Barret Velues Center adalah sebuah lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat yang bergerak di bidang pengukuran kesehatan Corporate Culture kelas dunia. Sebanyak 200 orang dari berbagai belahan dunia berkumpul mencari rumusan agar terciptanya perubahan untuk masa depan dunia yang lebih baik.
Dalam event dunia yang bertema “Realising Our Human Potential: Creating the Shift Towards a Sustainable Future” . Semua orang merenungkan apakah berbagai kemajuan fisik yang dicapai dunia ini benar-benar memperbaiki kualitas kehidupan manusia itu sendiri?
Perkembangan perekonomian dunia dalam 100 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Jika kita lihat dari pertumbuhan pendapatan rata-rata penduduk atau GDP di berbagai belahan dunia, semuanya menunjukkan pertumbuhan positif. Sebagai contoh kenaikan GDP dalam satu abad tersebut Amerika meningkat 100x, Afika meningkat 3x, sedangkan Japan meningkat 16x.
Peningkatan ini dimotori oleh dunia bisnis yang berhasil melakukan kapitalisasi terhadap pasar bebas dunia. Perubahan wajah dunia semakin cepat terjadi terutama sejak ditemukannya World Wide Web pada tahun 1989 oleh Tim Berners-Lee. Arus globalisasi menyerbu semua benua bahkan hingga ke ujung Afrika. Tak terhitung bentuk dan jumlah potensi bisnis yang dikreasikan setelah era world wide web tersebut.
Jika kita lihat dari sisi GDP atau pertumbuhan ekonomi tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat dunia saat ini, secara umum jauh lebih sejahtera dibandingkan sebelumnya. Namun bagaimana dengan kualitas kehidupan yang dapat mereka nikmati?
Daftar panjang penurunan kualitas kehidupan tersebut terpampang dimana-mana. Beberapa spesies hewan telah punahnya, contohnya jumlah mamalia besar yang punah sebesar 95%. Luas hutan pun kian berkurang hingga 90% lenyap. Belum lagi meningkatnya jenis penyakit yang belum ada sebelumnya dan belum ditemukan pengobatannya, serta timbulnya berbagai jenis polusi.
Fakta di atas baru dari sisi fisik lingkungan, lalu bagaimana dari sisi sosial? Menurunnya kepercayaan pada lembaga pernikahan yang mengakibatkan tingginya perceraian, penggunaan narkotika oleh generasi muda, tingginya kriminalitas dan kekerasan, dan masih banyak lagi lainnya.
Lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan di muka bumi ini? Tentunya semua akan mengatakan "kita semua". Namun sadarkah kita bahwa sesungguhnya dunia bisnislah yang menentukan perputaran ekonomi dunia, yang memiliki andil sangat besar dalam menentukan wajah. Begitu pula dampak yang dihasilkan dari bisnis yang mereka lakukan.
Para pelaku bisnis (capitalism) yang bertanggung jawab atas eksploitasi alam yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi, mereka juga yang bertanggung jawab atas kapitalisasi teknologi untuk kepentingan ekonomi yang ternyata membawa dampak sosial luar biasa.
Jika kita ingin melihat kehidupan yang lebih baik di dunia ini bagi generasi yang akan datang, maka para pelaku bisnis harus mulai membangun kesadaran akan pentingnya "nilai (values) dan makna (meaning)" dibalik apapun yang mereka lakukan memiliki meaning. Nilai atau values disini bukan hanya nilai ekonomi tapi nilai atau values sebagai panduan mereka dalam berbisnis dan kehidupan.
Dalam bukunya Firm of Endearment: How World Class Companies Profit from Passion and Purpose, Raj Sisodia menyampaikan empat komponen dari Concious Capitalism tersebut, yaitu:
1. Stakeholder Integration, yaitu integrasi para stakeholder.
2.Concious Leadership, yaitu Leadership yg berbasis hari nurani.
3.Concious Management, yaitu manajemen yang berbasis hati nurani.
4.Concious Culture, dan budaya yang berbasis hati nurani.
Dan sebagai pusat dari empat hal tersebut adalah Conciousness on Higher Purpose and Core Values, atau sebuah kesadaran yang berpusat kepada tujuan luhur dan nilai luhur, atau dengan kata lain ekonomi dan manajemen yang berpusat kepada nilai -nilai spiritualitas.
Karena tanpa kesadaran akan makna mulia kehidupan serta nilai-nilai mulia atau spiritulitas, maka para pelaku bisnis hanya akan terus memikirkan kepentingan bisnis masing-masing serta mengabaikan dampak yang mereka berikan terhadap dunia.
<more>
Dalam buku Good to Great, Jim Collins banyak mengulas perusahaan ternama dunia yang menunjukkan kinerja luar biasa hanya dari segi finansial, padahal beberapa di antaranya justru ambruk saat krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, atau bahkan termasuk dalam perusahaan yang menjadi penyebab krisis ekonomi.
Sisodia dalam buku itu mendata perusahaan yang memiliki kesadaran akan pengaruh mereka terhadap kualitas kehidupan manusia. Perusahaan tersebut ia sebut sebagai perusahaan yang masuk kategori Firms of Endearment. Mereka adalah perusahaan yang memiliki "purpose" bukan untuk mengejar keuntungan semata, namun mendapatkan keuntungan karena berbisnis untuk sebuah tujuan yang mulia, dan mendapatkan keuntungan karena berbisnis berdasarkan nilai mulia yang dipegang teguh.
Tak hanya Sisodia, dalam konferensi tersebut hampir semua pembicara menyatakan pentingnya values atau kesadaran spiritual dalam setiap aspek kehidupan, termasuk juga dalam dunia bisnis. Di luar sana, khususnya di Barat, kesadaran ini makin mengemuka dan bahkan menjadi tren dunia.
Shoshana Zuboff, seorang profesor di Harvard Business School dan telah mengajar selama 15 tahun di program MBA, keruntuhan ekonomi dunia yang terjadi beberapa waktu lalu hingga saat ini, ada hubungannya dengan sistem pendidikan di sekolah bisnis. Ia mengatakan bahwa yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah bisnis telah melahirkan para pelaku bisnis yang tidak lagi dapat dipercaya.
Selain itu, Michael Jacobs, seorang profesor di Universitas North Carolina's Kenan-Flagler Business School juga mengatakan hal serupa. Dalam artikel yang dituliskannya pada 24 April 2009 di Wall Street Journal, dengan judul "How Business School Have Failed Business" bahwa selama ini sekolah bisnis hanya mengajarkan bagaimana caranya memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan mengabaikan pentingnya penanaman values dan meaning.
Mungkin hasil konferensi di Cape Town ini adalah jawaban mengapa meskipun pertumbuhan ekonomi kita di Indonesia sudah demikian fantastis yaitu 6,4 % di semester satu tahun 2012 dengan pertimbuhan tertinggi di kelompok G 20 setelah Cina, dan terus akan meningkat, tapi sepertinya kita belum merasakan peningkatan kualitas kehidupan secara totalitas, bahkan rasanya terjadi penurunan kualitas hidup.
Mengapa ? Ini bukan lagi permasalahan ekonomi semata akan tetapi ini masalah sosial akibat kita lupa dan alpa membangun jiwa, moral dan karakter. Kita belum terlanjur, akan tetapi kita mulai kehilangan " Ruh " kemanusiaan kita. Di dalam pembangunan ekonomi dan pendidikan kita kurang memberi perhatian akan hal ini.
Di dalam aksi korporasi kita pun sering alpa membawa dunia spiritualitas yang mengajarkan tentang arti Value dan Meaning. Seyogyanya di dalam menjalankan roda ekonomi, pembangunan Ruh tidak bisa kita tinggalkan, program CSR dan PKBL pun tidak melulu berfokus kepada peningkatan dan pemberdayaan ekonomi akan tetapi juga perlu memperhatikan pembangunan moral dan spiritual bangsa yang sedang terbaring di ICU ini.