Oleh : Ary Ginanjar Agustian
ESQNews.id - "Orang yang berbohong senantiasa ingin melarikan diri, sedangkan tiada seorang pun yang mengejarnya, namun orang yang benar, berani seperti singa." (Goethe)
Seorang anak muda memohon izin pada ibunya untuk menuntut ilmu nun jauh di suatu tempat. Meski berat hati, sang ibu mengizinkan anaknya pergi. Sebagai bekal sang ibu memberinya dua hal. Bekal pertama adalah 40 keping emas warisan dari suaminya yang ia jahit di lengan atas mantel putranya. Sedangkan bekal kedua berupa nasihat supaya selalu memegang nilai kejujuran.
Hari keberangkatan pun tiba. Sang ibu melepas putra tercinta dengan derai airmata dan doa. Dengan mengikuti suatu kafilah, anak muda bernama Abdul Qadir Jailani itu berangkat menuju Baghdad. Selepas meninggalkan Kota Hamadan, 60 perampok berkuda menghadang mereka, lalu merampok semua harta yang ada pada kafilah, kecuali Abdul Qadir. Salah seorang dari perampok yang melewatinya bertanya, ”Hai anak fakir, apa yang kau punya?” Abdul Qadir Jailani menjawab, ”Empat puluh keping uang emas”. Perampok itu mengira Abdul Qadir itu mengejek, sehingga ia pun segera berlalu.
Ketika para perampok itu berkumpul, pemimpin mereka bertanya, ”Apakah sudah beres semua?” Seorang anak buahnya menjawab, ”Tadi ada seorang anak yang berpakaian jelek, katanya ia mempunyai 40 keping uang emas. Tapi melihat penampilannya, saya tidak yakin bahwa dia mempunyai uang sebanyak itu.”
”Panggil anak itu kemari,” perintah pemimpin rampok itu. Kemudian, anak buahnya membawa Abdul Qadir ke hadapannya. Pemimpin rampok itu bertanya kepada Abdul Qadir, ”Hai anak muda, apa yang kau bawa?” ”Empat puluh keping uang emas,” jawab Abdul Qadir. ”Tunjukkan tempatnya!” sambung pemimpin rampok itu. Abdul Qadir menjawab, ”Di dalam saku di bawah ketiakku”.
Ketika diperiksa, ternyata benar ada kepingan uang emas. Mereka heran bercampur takjub, ”Kenapa engkau berterus terang. Bukankah engkau bisa berbohong agar uang emasmu selamat?” Dengan polos Abdul Qadir menjawab, ”Ibuku berpesan agar aku selalu berkata benar dan jujur, dan aku tidak akan menyalahi janjiku kepadanya”.
Mendengar jawaban itu, pemimpin rampok itu tiba-tiba menangis dan berkata, ”Engkau tidak mengkhianati janjimu kepada ibumu, sedang kami semua sudah bertahun-tahun menyalahi dan mengkhianati janji pada Allah. Maka, sejak hari ini kami bertobat kepada Allah.”
Akhirnya, anak buah perampok itu ikut bertobat semuanya. Mereka berkata, ”Engkau pemimpin kami dalam perampokan, maka kamu juga pemimpin kami dalam bertobat.” Setelah itu, mereka mengembalikan harta rampasan itu kepada kafilah Abdul Qadir.
Kejujuran yang diucapkan dengan nada lembut dan tenang, ternyata mampu mengguncang jiwa para penjahat yang tengah berada dalam gelimang dosa dan kesesatan. Enam puluh perampok bertobat karena kejujuran seorang anak muda.•
Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]




