ESQNews.id,
JAKARTA - Andai Soekarno tak pernah kos di rumah HOS Tjokroaminoto, mungkin
sejarah tak akan pernah menyatatnya sebagai pemimpin bangsa. Beruntung, Soekarno
sempat tinggal di kediaman Tjokroaminoto, yang kemudian dijadikannya sebagai
guru. Dari tokoh itulah, Soekarno belajar banyak dan mendapat inspirasi.
Tak cuma Soekarno
yang berguru pada Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, melainkan juga Abikusno,
Semaun, Alimin, Musso, HA Agus Salim, Kartosuwirjo, Herman Kartowisastro, KH
Mas Mansyur dan lain-lain. Dari sekitar 20 nama yang berguru kepadanya itu,
Soekarno kelak menjadi tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia), Abikusno Tjokrosujoso
menjadi tokoh PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), sementara Semaun, Alimin
dan Musso menjadi pemimpin PKI (Partai Komunis Indonesia), KH Mas Mansyur aktif
di Muhammadiyah.
Tak berlebihan
jika Tjokro dijuluki “Guru Politik” para pemimpin bangsa. Betapa tidak, dari
tangannya, lahir murid-murid yang mengusung tiga aliran politik, yang hingga
kini masih berpengaruh besar di Tanah Air: Nasionalisme, Islam, dan Sosialisme.
Lahir di Bakur,
sebuah desa di Madiun, pada 16 Agustus 1882, Tjokroaminoto sejatinya menyandang
gelar Raden Mas. Namun, ia tidak pernah menyertakan embel-embel kebangsawanan
pada namanya. Ayahnya, RM Tjokroamiseno, adalah wedana alias asisten bupati. Sedangkan
sang kakek, RM Adipati Tjokronegoro, pernah menjadi bupati Ponorogo. Neneknya
juga seorang puteri agung Susuhunan II dari Kerajaan Surakarta. Begitu pula
isterinya, Raden Ajeng Soeharsikin, yang berayahkan patih wakil bupati
Ponorogo.
Tjokroaminoto
adalah alumni Opleiding School voor Inladsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Karena
termasuk kaum bangsawan, Tjokro bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda
yang menyetak pegawai-pegawai pemerintah kolonial itu. Lulus dari OSVIA, pada
1902, Tjokroaminoto bekerja sebagai juru tulis di kesatuan pegawai administratif
bumiputera di Ngawi.
Pada 1905 di Surabaya, Tjokroaminoto bekerja pada sebuah perusahaan dagang, sambil mengikuti kursus teknisi di sebuah sekolah malam. Setelah lulus, ia bekerja di pabrik gula Rogojampi pada 1907. Mula-mula sebagai magang masinis, kemudian menjadi teknisi, hingga ia memantapkan diri untuk berkiprah di kepengurusan Syarikat Islam (SI) pada 1912. Tak lama berselang, ia dipercaya memimpin SI cabang Surabaya. Itulah awal petualangan Tjokro di jagat pergerakkan nasional.
Baca juga: HOS Tjokroaminoto, Guru Para Pejuang (Bagian 2)
Prestasi perdana
Tjokro adalah ketika ia sukses menyelenggarakan vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar
itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang
anggota. Kongres resmi perdana SI sendiri baru terlaksana pada 25 Maret 1913 di
Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua CSI mendampingi
Hadji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua itulah Tjokro mulai menanamkan
pengaruhnya.
Kongres SI kedua
di Yogyakarta pada 19-20 April 1914, melejitkan namanya sebagai Ketua CSI menggantikan
Samanhoedi. Di tangan Tjokro, SI mewujud menjadi organisasi politik pertama
terbesar di Nusantara. Pada 1914, anggota resminya mencapai 400.000 orang,
sedangkan tahun 1916 terhitung 860.000 orang. Tahun 1917 sempat menurun menjadi
825.000 orang. Pada 1918 bahkan merosot lebih drastis lagi hingga pada kisaran
450.000 orang. Namun, setahun berikutnya, 1919, keanggotaan SI melesat sampai
2.500.000 orang.
Ketertarikan berjuta-juta orang tersebut untuk berbondong-bondong masuk SI bukanlah tanpa alasan. Tjokro sangat jeli melihat setiap peluang. Dengan bandrol Islam, ditambah strategi politik rakyat nirkasta, SI dengan cepat mampu menarik hati masyarakat. Di setiap pertemuan anggota SI, semua duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Pernah diterbitkan di ESQ Magazine No. 02/V Januari 2009
Baca juga: HOS Tjokroaminoto, Guru Para Pejuang (Bagian 3)