Senin, H / 27 Oktober 2025

Segala Puji Hanya Milik Allah

Rabu 20 Sep 2023 09:22 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: google image


ESQNews.id - "Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah"." (Q.S. Al-A'raf: 12).

 

Merasa apa yang dimiliki lebih baik dari apa yang dimiliki oleh orang lain.

Merasa dirinya lebih hebat daripada orang lain.

Merasa ibadahnya lebih baik daripada orang lain.

Merasa ilmunya lebih tinggi daripada orang lain.

Merasa pendapatnya lebih tepat daripada pendapatnya orang lain.

Merasa akhlaknya lebih mulia daripada akhlaknya orang lain.

 

Merasa lebih dari yang lain ini, begitu lembut meracuni diri. Jika tidak hati-hati, diri yang tanpa dosa pun, yang sepanjang hidupnya terjalani dengan beragam ibadah dan kebaikan pun, akan menjadi rusak oleh halusnya rasa ujub menyelinap ke rongga-rongga hati.


"Jika kalian tidak berdosa, maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub! ujub!" (H.R. Al-Baihaqi). Demikian kekhawatiran Rasulullah SAW atas rasa ujub yang bisa jadi menjangkiti siapa saja yang tidak berhati-hati. Saking halusnya rasa ujub merasuki diri, sampai-sampai diri yang teracuni pun terkadang tidak menyadari. Dan ini, yang bisa mengetahui tidak lain adalah dirinya sendiri, dan pastinya Allah SWT. Sebab, ujub ini adanya di hati. Sama sekali tidak nampak pada sikap dan perilaku keseharian di hadapan banyak orang.


Jika penyakit ujub sudah menjangkiti diri, dibiarkan, dan tidak segera ditaubati untuk diobati, maka akan mengantarkan diri pada kubangan dosa yang lebih dahsyat lagi, yakni takabur. Jika ujub lebih sering terpendam di hati masing-masing tanpa ekspresi yang bisa dilihat manusia lain. Maka, takabur jauh berbeda. Ucapan, sikap, gaya hidup, bisa sekali menampakkan tanda-tanda takabur tadi. Lebih-lebih, perangai diri terhadap makhluk lain, terutama sesama manusia, maka sikap takabur ini akan mudah dideteksi dan dirasakan efek negatifnya oleh manusia lain.


Jika ujub bisa dengan diam-diam merasa lebih dari orang lain. Maka, orang yang didera penyakit takabur, akan mudah sekali bersikap merendahkan semua. Ucapannya akan selalu diliputi kata-kata yang sama sekali tidak menghargai manusia lain. Menghina, membodoh-bodohkan, bahkan sampai pada kata mengkafir-kafirkan. Jika sudah pada sikap yang sedemikian ini, ketika ada yang mengingatkan, berusaha menasehati, ada saja alasan pembenaran diri atas sikap takaburnya tadi. Tidak jarang, mengatasnamakan kebaikan dan demi kemaslahatan bersama.


"Biar pun sikap saya begitu, sebenarnyalah saya adalah orang baik." Mungkin, seperti itu dalihnya. Adakah minyak wangi yang tidak menebarkan bau harum? Begitu pun hati manusia. Hati yang dipenuhi kebaikan, maka tidak akan pernah keluar dalam ucapan, tindakan, dan segala rupa kebiasaan yang bukan dari kebaikan itu sendiri. Sedang, kegemaran merendahkan sesama, suka menghina, menganggap tidak ada manusia yang lebih baik dari dirinya, gampang mempersalahkan dan mengkafir-kafirkan, tentulah bukan berasal dari kebeningan hati yang suci penuh kebaikan.


Tentu, kita masih ingat tentang pengkategorian tingkatan tahapan ilmu yang dilalui manusia oleh Saidina Umar ibn Khattab. Yakni, jika seseorang memasuki tahap pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahapan kedua, maka dia akan rendah hati. Jika dia memasuki tahapan ketiga, maka dia akan merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya. Dan, manusia yang hanya terjebak pada tahap pertama, sepanjang waktunya akan dihabiskan dengan sikap takabur. Segala yang bertambah di dalam diri, apa pun saja bentuknya, rasa takabur semakin menjadi-jadi. Dari ilmu "A" beranjak ke "B", bertambahlah takaburnya. Bermula memiliki "C" lantas meningkat menjadi "D", semakin tinggi saja takaburnya. Begitu seterusnya. Parahnya, apa pun saja yang dipelajari, apa pun saja yang dikejar kesana-kemari, tidak lebih hanya agar dipandang paling hebat oleh sesama manusia, tidak lain hanya demi memuncakkan rasa takabur diri. Na'udzubillah.


Demi keselamatan diri dan kebahagiaan sejati, tentu saja bukan Iblis yang akan dijadikan teladan sepanjang menjalani titah kehidupan. Merasa lebih mulia dibanding Nabi Adam (Q.S. Al-A'raf: 12). Tetapi, atas setiap kelebihan dan pemuliaan yang Allah SWT anugerahkan kepada masing-masing diri, seharusnyalah menjadikan diri semakin merunduk penuh kerendah-hatian. Bahwa, semua tidak lain adalah sebentuk ujian. Mau menjadi manusia penuh syukur ataukah kufur.


Atas kelebihan demi kelebihan yang diamanahkan Allah SWT di kehidupan ini, harusnyalah diri bercermin kepada manusia paling segalanya di antara manusia yang pernah ada di dunia, yang diabadikan kemuliaan pribadinya di dalam Al-Qur'an, yakni Nabi Sulaiman.


"Sulaiman berkata, "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri?" 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya." Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat­-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia." (Q.S. An-Naml: 38-40).


"Eman.. Eman temen wong sugih ora gelem sembahyang. Nabi Sulaiman sugih, ijeh gelem sembahyang. Nabi Sulaiman sugih, ijeh gelem sembahyang." (Sayang, sayang sekali orang kaya raya tidak mau shalat. Nabi Sulaiman kaya masih mau shalat. Nabi Sulaiman kaya masih mau shalat.) Demikian, puji-pujian yang sampai hari ini masih didengung-dengungkan di masjid-masjid desa selepas Adzan. Sebuah nasehat untuk menyadarkan diri bahwa apa pun saja yang dimiliki, harusnya hanya menjadi sarana untuk menghamba kepada Allah SWT.


Semoga, kita semua terjaga dari "Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri." (H.R. At-Thabrani).

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA