Jumat, H / 29 Maret 2024

Ikut Kubu yang Mana?

Senin 08 Apr 2019 08:57 WIB

Reporter :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: segeres

ESQNews.id - Nabi Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT menciptakan bani Adam dengan 8 sifat.  4 diantaranya, adalah sifat-sifat penghuni surga. Yaitu, wajah yang ramah, lidah yang fasih, hati yang bertaqwa, dan tangan yang dermawan. Sedangkan, 4 yang lainnya adalah sifat-sifat penghuni neraka. Yaitu, wajah yang masam, lidah yang kotor, hati yang keras, dan tangan yang pelit."


Jangan marah. Jangan marah. Surga itu nanti. Eh, tapi kalau pas sudah menjumpa sesuatu yang membuat gatal hati, ya spontan bisa marah. "Wes gak surgo-surgonan", begitu mungkin sikap yang kadangkala menjangkiti diri. Dan dalam banyak kondisi, marah yang pernah terjalani, pada saatnya akan menjadikan "getun mburi", menyesal pada akhirnya. Sebab, seringkali marah hanya memperkeruh masalah. Coba sih rasakan sendiri, enak mana yang dirasa ketika marah-marah atau pas ramah tamah?


Setiap yang sanggup menahan diri untuk tidak marah, maka dirinya akan segera menjadi seorang yang peramah. Wajah penuh senyum, gampang maklum dengan segenap rupa yang membuat jengkel. Bertemu si ini, senyum. Berjumpa yang itu, senyum. Beserta siapa pun senantiasa tersenyum, menampakkan wajah yang ramah lingkungan. Kondisi yang demikian ini, sebenarnya adalah cerminan dari hati yang penuh dengan maaf, hati yang lapang, mensamudera. Ingat 'kan? Meskipun mulanya musuh, jika dimaafkan, akan menjadi saudara.


Baca juga : Berbahasa dengan Cinta


Dan akan senyam-senyum itu setiap kali bertemu. Semakin indah berhubungan. Beda jika hati tanpa maaf, biar pun saudara, "sohib kenthel", akan terus menjadi musuh. Dan kalau yang begini diperbanyak, makin mempersempit hidup. Kemana-kemana tidak akan bisa tersenyum mesra, wajah tidak akan pernah ramah.


"Laa taghdhob, falakal jannah." Begitu nasehat manusia tersabar, Baginda Rasulullah Saw. Surga, bukan tempat untuk para pemarah. Juga sebagaimana tanda-tanda penghuni surga yang dijelaskan beliau Saw, bahwa yang pertama, "wajhun malih", ya wajah ramah, yang dengan siapa pun menebar senyum itu tadi. Kedua, "lisaanun fashiihun", lisan yang fasih. Tentunya yang ramah juga, yang selalu berucap tentang kebaikan. Tidak gampang berujar sesuatu yang merugikan. Lisan yang demikian ini pun, juga sebagaimana wajah penuh senyum tadi, hatilah pengendalinya. Jadi, hati-hati.


Ketiga, "qolbun taqiyyun", hati yang bertaqwa. Nah, ini pusatnya. Jika hati sudah baik, maka sekujur diri dengan beragam akhlak dan kebiasaan akan ikut-ikutan baik juga. Tetapi, jika hati sudah berpenyakit, hancurlah semua. Dan kelak, hanya hati yang baik yang akan bermanfaat bagi keselamatan bagi setiap diri. "(Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali, orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Q.S. Asy-Syu'aro: 88-89).

 

Dan tanda keempat para penghuni surga kelak adalah "yadun sakhiyyun", tangan yang dermawan. Gemar memberi, apa pun kondisi diri. Pas kaya, ya memberi, bersedekah. Pas sangat kuuuaya, ya semakin suka memberi. Jadi, tidak pernah ada kesempitan hati untuk bersikap pelit. "Pokok'e nyah-nyoh". "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (Q.S. Ali Imron: 134). Tuh kan, klop?

 

Namun, untuk tanda yang keempat ini perlu diwaspadai. Harus super hati-hati. Sebab, jika tidak benar-benar Lillahi Ta'ala, akan merusak tanda-tanda sebelumnya. Bisa sangat berbahaya bagi diri dan lingkungan. Jika misalkan tidak ikhlas, tidak tuntas lahir batin sedekahnya, akan memunculkan Firaun di dalam diri, akan menjadi dholim sendiri. "Ini, sudah diamplopi, sudah dibagi kaos gratis, campur mie instan dan beras, malah tidak memilih saya. Kurang ajar betul. Bikin rugi aja."


Pernah dengar 'kan ucapan senada itu atas sedekah yang tidak sesuai harapan? Atau, ketika misalnya sering mensedekahi seseorang, lebih-lebih terhadap yang tidak mampu sama sekali, akhirnya timbul perasaan paling hebat, merasa pantas untuk dibangga-banggakan, merasa ingin selalu dimuliakan dan dilayani oleh mereka yang sudah disedekahi. Apalagi sudah niat mensedekahi dengan cara menghutangi dan ternyata tidak kembali-kembali, jadinya ingin tawur saja.


Menjadikan kemarahan yang tidak main-main, lengkap dengan rasa dendam yang tidak selesai-selesai. Dan, ada yang lebih mengerikan lagi, bibit-bibit perselingkuhan itu seringkali tumbuh subur lantaran gemar saling mensedekahi. Mulanya sih sekadar membelikan pulsa, menghadiahi ini dan itu, memberikan sepatu dan pakaian baru, ujung-ujungnya ada udang dibalik batu.


Sehingga, tidak heran jika Allah Swt menfirmankan bahwa, "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." (Q.S. Al-Baqarah: 263).


Nah, kalau sudah paham mana dan musti ke arah mana seperti yang tersampaikan di atas tadi, jangan lantas nanti pas ketemu siapa begitu, ditanda-tandai, eh neraka itu, masuk neraka. Eh, yang itu sedekahnya cuma supaya dipuji dan pilih. Kalau yang itu, disedekahi supaya mau dimanfaatkan untuk memuaskan nafsu. Jangan ya? Jangan begitu. Semua ini, hanya sekadar cermin, sesungguhnya kita termasuk kubu yang mana dan musti kemana. Supaya, setiap diri senantiasa berbenah untuk semakin baik dan lebih baik lagi.


"Menatap masa depan, bukan pertanyaan 'sanggupkah mengemban dharma suci di jalan?' yang aku takutkan. Tetapi, pertanyaan 'kamu ikut kubunya siapa?'". (Suhu Djangesh)

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA