ESQNews.id, JAKARTA - Mungkin banyak yang tidak mengira bahwa di
antara orang yang dalam pandangan kita sukses, mereka menderita imposter
syndrome. Atau bahkan mungkin tanpa disadari bahwa diri kita
sesunguhnya memiliki gejala yang sama. Apakah sesungguhnya imposter
syndrome tersebut? Penelitian tentang imposter syndrome baru
dimulai tahun 1978 oleh dua orang psikoterapis Pauline Clance and Suzanne Imes
yang mempelajari sekelompok wanita sukses atau high-achieving women. Mereka
menemukan bahwa para wanita tersebut memiliki tingkat keraguan akan kemampuan
dirinya sekaligus memiliki ketidakmampuan menginternalisasi kesuksesan dirinya.
Imposter berarti penipu. Sedangkan imposter
syndrome dapat didefinisikan sebagai sekumpulan perasaan
ketidakmampuan dalam bidang yang digeluti yang berlangsung lama, meskipun
banyak informasi yang menunjukkan bahwa sebenarnya dirinya adalah seorang yang
kompeten di bidangnya. Hal ini dirasakan secara internal sebagai keraguan pada
diri sendiri, sehingga merasa telah melakukan penipuan secara intelektual.
Umumnya gejala imposter syndrome yaitu perasaan tidak sukses,
kurang kompeten, dan merasa bukan karyawan yang cerdas, serta merasa sama
sekali bukan orang yang mengesankan. Hal ini bisa dialami oleh banyak orang
sukses bahkan seorang yang sangat terkenal seperti Nicole Kidman atau artis
lain yang pernah memenangkan piala Oscar yaitu Jodie Foster, pernah mengalami perasaan
ini.
Imposter feelings dapat dibagi menjadi 3 sub kategori:
Merasa sebagai seorang penipu
yaitu keyakinan
seseorang bahwa ia merasa tidak pantas mendapat kesuksesan ataupun posisi
professional. Hal ini muncul bersamaan dengan perasaan ketakutan akan diketahui
atau terbuka kedoknya. Orang yang dihiinggapi perasaan ini, teridentifikasi
dengan munculnya pernyataan: “Saya dapat memberikan kesan bahwa saya lebih
kompeten daripada saya yang sesungguhnya”. Atau, “Saya takut orang lain akan
menemukan betapa pengetahuan saya sebenarnya sangat kurang.”
Menghubungkan sukses dengan keberuntungan
Aspek lain dari imposter syndrome adalah kecenderungan untuk menghubungkan sukses dengan keberuntungan dan bukan karena kemampuan internal. Seseorang yang memiliki perasaan seperti ini biasanya mengatakan, “Saya berhasil kali ini semata-mata karena faktor keberuntungan.” Atau, “Ini adalah penipuan.” Mereka umumnya merasa ketakutan tidak akan meraih sukses kembali di masa yang akan datang.
Mengabaikan Kesuksesan
Aspek ketiga adalah kecenderungan menyederhanakan kesuksesan dan mengabaikannya. Seseorang dengan perasaan seperti ini akan mengabaikan pencapaian dengan mengatakan, “Ini bukan hal penting.” Satu contoh dari pengabaian fakta bahwa mereka benar-benar telah melakukan kesuksesan. Atau mengatakan, “Saya melakukan ujian ini dengan baik sebab kelas dan soal ini mudah”.
Sepintas mungkin hal ini dianggap masalah biasa dan sederhana. Namun sebenarnya hal ini dapat mengganggu pikiran dan perasaan serta pencapaian sukses di masa datang.