ESQNews.id - "Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan untuk memasukinya." Ada seseorang yang bertanya, "Siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah Saw?" Beliau bersabda, "Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga. Barangsiapa tidak taat kepadaku sungguh dia orang yang enggan masuk surga." (H.R. Bukhari).
Betul. Manusia ini khalifatullah di muka bumi. Tinggal di dunia ini. Tetapi, hanya sementara. Manusia hanya pendatang. Singgah sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan pulang. Kemana? Ke tempat asalnya. Surga.
Dan Allah Swt pun, sepanjang manusia menjalankan kehidupan dari-Nya di dunia, terus menerus menggiring manusia untuk selamat sampai kembali di tempatnya semula. Kembali menjadi penduduk surga. Jadi, tidak mengherankan jika segala sesuatu yg menjadikan manusia kembali ke surga dijadikan sebagai kewajiban yang musti dikerjakan.
Diakui atau tidak. Diingini atau tidak. Seluruh aktivitas-aktivitas yang diwajibkan Allah Swt kepada umat manusia adalah dalam rangka mengembalikan manusia ke asal tempat tinggal yang semula. Dan untuk apa pula manusia musti kembali ke surga? Sebab, hanya melalui jalur tempat tinggalnya yang semula itu, kelak manusia bisa benar-benar kembali kepada Allah Swt sebagai satu-satunya tempat kembali. Proses inilah yang lebih sering disebut sebagai alur kehidupan yang "inna lillaahi wa inna ilaihi rooji'uun". Kita berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya.
Kemudian, dalam menjalankan beragam kewajiban yang menjadi syarat kembali ke surga, Allah Swt tidak begitu saja memerintah. Tetapi benar-benar menuntun manusia sampai bisa. Allah Swt pun, juga menghadirkan para Nabi dan Rasul di muka bumi. Tentu, dalam rangka menjadi teladan. Memberikan contoh kepada umat manusia supaya benar-benar menikmati kewajiban-kewajiban yang dibebankan.
Jadi, pada dasarnya, seluruh umat manusia akan dikembalikan dan tinggal di surga. Tetapi, tidak semua manusia menyadari akan hal ini. Dan tidak jarang, ada manusia yang malah menolak untuk kembali ke surga, tempat tinggalnya semula. Siapa? Tidak lain adalah mereka yang mengabaikan dan meninggalkan segala aktivitas yang telah diwajibkan Allah Swt. Siapa? Sebagaimana hadist di atas, tidak lain adalah manusia yang tidak mau mengikuti Rasulullah Saw yang diutus memberikan teladan bagaimana hidup penuh kebaikan yang menjadikan diri kembali ke surga.
Ada yang tidak mau kembali ke surga? Pasti, lisan dan hatinya berucap mau. Tetapi tingkah laku, kerapkali mengingkari kemauan itu. Dan seringkali, manusia terjebak kepada keasyikan tipu daya dunia.
Manusia, dituntun Allah Swt dengan beragam anugerah di sepanjang kehidupan supaya terarah jalan untuk sampai kepada-Nya. Tetapi, justru manusia terjebak oleh anugerah-anugerah itu sendiri. Berdasar menuruti kemauan nafsu, segala anugerah yang mustinya menjadi sarana melancarkan jalan untuk dekat dengan-Nya, menjadi fasilitas untuk menunaikan segala kewajiban, malahan menjadi penghalang. Manusia terlena. Terhijab diri oleh kemilau tipu daya dunia. Sehingga, seringkali ada yang dianugerahi cerdas. Kemudian mengandalkan kecerdasannya. Ada yang dianugerahi kuasa. Kemudian mengandalkan kekuasaannya. Ada yang dianugerahi kaya. Kemudian mengandalkan kekayaannya. Ada yang dianugerahi pengaruh. Kemudian mengandalkan pengaruhnya. Beragam anugerah-Nya yang diterimakan kepada manusia, ternyata sering disalah-artikan. Sehingga, semakin mempertebal hijab antara manusia dengan Allah Swt sebagai satu-satunya yang berkuasa mencukupi segala. Dengan beragam anugerah itu, Allah Swt seakan dikucilkan, tidak lagi dijadikan andalan dan tempat bergantung di setiap menjalani kehidupan.
Dan yang semarak kini, banyak sekali yang dianugerahi kemampuan berbicara. Kemudian mengandalkan pembicaraan-pembicaraan. Sepanjang hari lisan tidak pernah berhenti memproduksi kata-kata. Sampai-sampai di saat tidur pun masih sering berbicara, mengigau. Berbahaya? Bisa jadi. Jika seluruh pembicaraan ternyata hanya tentang melukai perasaan, fitnah, membunuh karakter sesama. Lebih parah lagi, ketika setiap yang disampaikan dalam pembicaraan sama sekali tidak selaras dengan kepribadian. Fasih di mimbar lengkap dengan dalil-dalil mulia. Tetapi, dalam tingkah kesehariannya, lisan sering tidak terkontrol. Sama sekali tidak mencerminkan akhlak diri. Model ini, yang oleh Allah Swt ditegur dalam Q.S. Ash-Shaf: 2-3: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan."
Lebih jauh lagi, kegemaran berbicara ini tidak dibarengi dengan kesukaan mendengarkan. Akhirnya, berbalut kesombongan. Ketika di satu majlis, tidak akan sabar jika bukan dia yang di depan untuk berbicara. Ketika pun ada yang berbicara, maka selalu saja menemukan celah kekurangan. Kesombongan diri pun menjadi-jadi. "Ah. Lebih enak saya ngomongnya." Padahal, sesungguhnya yang menyelamatkan adalah kebiasaan setiap harinya. Sebab, kedatangan malaikat maut tidaklah menunggu persiapan sebagaimana hendak berbicara di depan banyak orang. Datangnya mendadak, biar pun ketika di mimbar fasih dengan dalil, tetapi hari-harinya lebih sering terbiasakan dengan ucapan yang tidak mencerminkan apa yang dicitrakan di depan banyak orang, maka mungkinkah kalimat indah yang spontan keluar dari lisan ketika saatnya nyawa harus dicabut?
Semakin meriahnya para pembicara, "tukang ngomongi", manusia omong kosong ini, memang pernah disabdakan Rasulullah Saw akan kehadirannya. "Sesungguhnya kalian hidup di zaman yang fuqahanya (ulama) banyak dan penceramahnya sedikit, sedikit yang minta-minta dan banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari berilmu. Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya sedikit dan penceramahnya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal." (H.R. Ath-Thabrani). "Di antara (tanda) dekatnya hari kiamat adalah dimuliakannya orang-orang yang buruk, dihinakannya orang-orang yang terpilih (shalih), dibuka perkataan dan dikunci amal, dan dibacakan Al-Matsnah di suatu kaum. Tidak ada pada mereka yang berani mengingkari (kesalahannya)." Dikatakan: "Apakah Al-Matsnah itu?" beliau Saw menjawab: "Semua yang dijadikan panduan selain kitabullah ‘Azza wa Jalla." (H.R. Al-Hakim).
Anugerah bisa berbicara ini hanya bagian sangat kecil dari tidak terhingganya anugerah dari Allah Swt. Kesemuanya, kalau menurut Guru kami, K.H. Budi Harjono, segala rupa peristiwa di sepanjang kehidupan adalah serupa petak umpet. Allah Swt bersembunyi di antara peristiwa-peristiwa itu. Mengajak bermain. Dan tugas manusia, menyibak segala rahasia di balik peristiwa-peristiwa itu, untuk kemudian bersua dengan Yang Maha Segala-galanya. Untuk sampai kepada Allah Swt harus melampaui anugerah-anugerah itu. Bahkan, meniti jalan ke surga merupakan jalan tercepat untuk sampai kepada-Nya.
"Ya Robbi, letakkanlah diriku di sebuah pusat dimana aku sangat-sangat terdesak dan butuh kepada-Mu." (Munajat Ibn Athoillah As-Sakandari)
*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]




