ESQNews.id - Para pemuda tak hentinya membuat pesona yang mengagungkan di setiap zaman, baik di Timur maupun di Barat, sejarah banyak mencatat sosok para pemuda yang bisa mengantarkan zamannya menuju masa yang penuh dengan peradaban, karena mereka memiliki dinamika dalam mengola gelora semangat dan kearifan berpikir menjadi sebuah energi untuk mewarnai dunia dengan kebajikan.
Salah satu fenomena menakjubkan yang tercatat dalam pena sejarah sepanjang masa dan tertulis mulia dalam firman Allah Tabaraka wa Ta’ala, adalah kisah seorang pemuda yang keberaniannya menggetarkan jagad raya, ketulusannya dalam memperkenalkan ketauhidan dan norma-norma kehidupan bukan hanya dengan lisannya semata, dan pengorbanan yang ia lakukan dalam menghapus kekelaman berpikir dan kesyirikan telah membuat dirinya dirindukan surga saat ajal menjemputnya. Ya… dialah pemuda yang disebut dalam kisah Ashabu al-Ukhdud, kisah tersebut tercatat dalam surat QS.al-Buruj: 04 قُتِلَ أَصْحَٰبُ ٱلْأُخْدُودِ , “Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit.”
Para ahli tafsir dan para ahli sejarah mencatat penuturan seorang shahabat yang mulia Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kisah ini terjadi 70 tahun sebelum Rasulullah lahir, namun mereka masih belum sepakat dimana terjadinya peristiwa tersebut, ada yang mengatakan di negara Yaman, Habasyah, Persia, Syam, atau pun Romawi.
Kisah ini berawal dari sebuah pemikiran sang thaghut, raja yang penuh kezhaliman dan ingin dipertuhanakan oleh rakyatnya. Ia bergelar Dzu Nuwas, sedangkan nama aslinya Zar’ah. Ia ingin mempertahankan hegemoninya melalui pengaruh sihir dan perdukunan, ironisnya sang penyihir kawakan negeri tersebut sudah berusia senja. Ia kemudian mengutus seorang anak muda bernama Abdullah bin Tsamir, yang memiliki kecerdasan berpikir dan keshalihan perilaku untuk mewarisi sihirnya tersebut.
Ada sebuah paradigma berpikir yang dapat kita munculkan bahwa sejak zaman dahulu keterpilihan segala sesuatu pasti melekat pada anak yang memiliki kecerdasan dan keshalihan. Sehingga pada masanya anak ini bisa memberikan kontribusi yang begitu besar kepada instansi yang memilihnya. Begitupun dalam konteks kekinian, apabila kita ingin memperkuat barisan dakwah, maka kita harus mempersiapkan anak-anak yang kokoh dalam berbagai disiplin ilmu. Dapat kita temukan pula dalam uraian kisah di atas, bahwa sebuah kedurhakaan dan kebodohan terwarisi dengan baik dari zaman ke zaman, bukankah fenomena perdukunan dan sihir dalam hal mempertahankan jabatan dan kedudukan masih terwarisi sampai masa kini? Begitu pula halnya dengan kebajikan.
Namun dalam suatu perjalanan menuju tempat sang penyihir, pemuda tersebut mendengar ada suatu kajian ilmu yang bersifat transenden yang disampaikan dengan begitu santun oleh seorang Rahib yang shalih bernama Faimiyun. Maka pemuda tersebut menyimak kajian dengan mengoptimalkan penalaran dan daya pikir. Pada akhirnya pemuda tersebut menguasai dua ilmu yang sangat bersebrangan tersebut. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa jalan hidayah adalah sesuatu yang sangat unik, lihatlah! Pemuda tersebut menemukan esensi ilmu yaitu tauhid, saat ia sedang memperdalam salah satu cabang ilmu dalam kesyirikan, tapi terkadang seorang yang terlihat sedang beribadah kepada Rabbnya dengan mempelajari ilmu agama justru dirinya kosong dari hidayah karena dia bersahabat dengan kemunafikan.
Suatu saat Allah Jalla wa ‘Alaa berkendak memberikan sebuah tanwiir (pencerahan) kepada pemuda tersebut, bahwa ilmu yang diajarkan oleh sang Rahib adalah ilmu yang diridhai-Nya, maka suatu saat di daerah yang tak jauh dari tempat pemuda tadi belajar, ada seekor hewan besar yang membahayakan kehidupan manusia, maka dengan gagah berani pemuda tersebut melawan hewan buas tersebut dan sanubarinya selalu berisyarat: “Ya Allah kalau sang Rahib lebih Engkau cintai dan ridhai dari sang penyihir maka bunuhlah binatang ini sehingga manusia bisa terlepas dari bahaya.”
Akhirnya Allah menjawab doanya, hewan tersebut binasa. Lihatlah! Beginilah seharusnya pemuda yang memiliki kaberanian, ketangguhan, kecerdasan, dan karakter yang terpuji. Melihat hal ini mungkin sedikit banyaknya kita bisa refleksikan dalam gerak laju perjuangan para pemuda yang berucap sumpah dalam satu bentuk perjuangan, mengusir perpecahan, penindasan, diskriminasi, dan segala bentuk angkara murka, walau usia mereka muda, tapi kematangan mereka dalam akal budinya telah melampaui zamannya, nalar mereka telah menghancurkan konsep aristrokrasi dan dinding-dinding istana, gelora mereka akan selalu ada selama Indonesia menjadi sebuah bangsa.
Setelah mengetahui kebenaran dengan tuntas, pemuda tersebut diberikan karunia bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan izin Allah Ta’ala dan setiap pasien yang dia obati selalu diperkenalkan dengan ketauhidan kepada Rabb al-‘Izzah, sehingga pemuda tersebut menjadi sangat produktif dalam mewujudkan keshalihan kolektif dalam masyarakat. Namun ketika raja mengetahui hal tersebut, menjadi awal ujian keimanan bagi dirinya. Hanya ada dua pilihan di hadapan pemuda tersebut, kembali mempertuhankan sang raja atau kematian…. Lihatlah! Peran pemuda adalah sebagai agent of change dalam masyarakat bukan menjadi sampah masyarakat yang selalu melakukan dosa pribadi maupun dosa sosial.
Pemuda tersebut dibawa oleh para tentara ke tepian jurang untuk bertemu dengan ajalnya. Namun faktanya pemuda kembali ke istana dengan senyum ketakwaan, dan tentara yang membawanya tertidur pulas untuk selamanya di dalam jurang. Begitupun ketika ia dibawa ke tengah samudera, hal yang sama menimpa para tentaranya.
Maka terlintas jalan dakwah yang begitu mulia dalam benak sang pemuda, yaitu menshalihkan masyarakat walaupun ada harga yang harus dibayar, yaitu jiwa dan raganya. “Anda bisa membunuhku ketika Anda mengumpulkan seluruh masyarakat di depanku, memanah pelipisku dengan anak panah dariku, dan sebelum memanah ucapkanlah dengan menyebut nama Allah Tuhan si pemuda ini…” Maka sang raja pun melakukan hal tersebut.
Angin berhembus sesaat seakan berucap, “Selamat jalan pahlawan kebajikan.” Angkasa meneteskan gerimis bunga dan memberikan ucapan, “Tugas Anda sudah selesai wahai penghuni surga.” Sejarah mencatat bahwa seluruh rakyat mengikrarkan keimanan kepada Allah setelah kajadian tersebut. Sang raja gusar dan membuat parit-parit yang di dalamya ada api yang membakar. “Kembali menyembahku atau kalian akan kumasukkan dalam api ini hingga terbakar!” Mereka masuk ke dalam api dan terbakar tapi iman bersama mereka.
Namun ada seorang ibu yang shalihah yang sedang menyusui bayinya berhenti sejenak di tepian parit, seolah ragu melihat anaknya yang sedang menikmati kasih sayangnya, seolah sang ibu sedang membandingkan panasnya api dengan kulit bayinya. Namun tiba-tiba sang bayi segera melepaskan santapannya dan berkata, “Bersabarlah wahai ibuku, karena sesungguhnya engkau dalam kebenaran.” Alangkah indah kematian mereka….
Memang kita tidak bisa memilih sebagai siapakah kita waktu dilahirkan, namun kita dapat memilih menjadi siapakah ketika kita bertemu dengan kematian. Pemuda seperti inilah yang dirindukan zaman, mari kita merenung sejenak, di mana posisi kita apabila dibandingkan dengan pemuda tersebut?
Note
Teks hadits secara utuh terdapat dalam Shahih Muslim, bab: Zuhud, no. 3005
Disarikan dari kitab tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, karya: Muhammad Thahir bin ‘Asyur