Kamis, H / 28 Maret 2024

Para Pencari Pahala

Senin 01 Oct 2018 11:19 WIB

Atiqoh Hamid

ilustrasi.

Foto: dok. Shot 165 ATS

Oleh : Atiqoh Hamid

ESQNews.id - "Pahala itu tidak dicari, Kawan, tapi didapat". Begitu cetus salah seorang teman, saat saya bercerita tentang kegigihan seseorang, yang berjuang untuk mencari pahala. Berharap dari segala lakunya, ada setumpuk pahala yang bisa dia bawa pulang.



Benarkah saat berjuang, kita masih kerap mengharap sesuatu? Orang bekerja, tentu mengharap upah. Suatu imbalan yang sepadan dengan yang telah dikerjakannya. UMR, istilahnya, atau gaji, atau bisyaroh, atau uang lelah, atau hasil keringat, atau hadiah, dan atau lainnya. Tapi berjuang, bukankah perjuangan itu tak berbalas imbalan apa pun, kecuali rasa puas dan (diam-diam) lega, juga pahala?



Tentu, tidak semua orang berharap semata imbalan finansial. Ada yang mendapat penghormatan dan respek. Ada yang berbalas kemudahan dan akses. Adapula yang mendapat peluang dan kesempatan. Meski tidak berupa nominal, imbalan semacam ini lumrah diterima.



Dalam sebuah komunitas atau lembaga, banyak hal yang bisa didapat. Dari yang paling ringan, sebut saja ilmu dan pengalaman sampai yang paling mewah, yaitu finansial dan fasilitas. Ilmu yang karena paling mudah ditemukan dan didapat, seringkali dianggap murah, atau bahkan disepelekan dan tidak dipentingkan. Wujudnya kerap dianggap tidak ada. Di atas ilmu, ada pertemanan dan rasa kekeluargaan. Apa yang diraih orang yang memiliki komunitas, akan sangat berbeda dengan dia yang tak mempunyai grup apapun, paling tidak dalam hal pertemanan ini.



Dalam komunitas, kita mendapat ilmu tentang seni komunikasi. Aturan menempatkan diri. Batasan berbuat sesuka hati. Keahlian dalam bidang tertentu, dan lain-lain. Simpati dan berempati. Menahan egois, keakuan, amarah, dan tinggi hati. Mengemas perhatian, kasih sayang, ketulusan, dan ingin berbagi. Inilah imbalan mahal, yang tidak bisa diberikan oleh orang sehebat pemimpin negara adidaya sekalipun.



Saat bertahun-tahun tumbuh dalam lingkup intensitas komunikasi, bersama banyak orang dengan beragam karakter, lalu Anda masih belum pandai menempatkan diri, maka yang salah bukan sistem. Yang keliru bukan aturan. Yang cacat bukan semata pada bangunan komunitasnya. Namun, Andalah yang bermasalah. Ada satu dari sekian serabut kabel yang terputus. Ada sekian helai akar yang tercerabut. Sehingga konektivitas tidak lagi baik. Dan yang ada hanya waktu yang terlewat sia-sia.



"Saya tidak sanggup, Mbak. Berada dalam komunitas ini, saya merasa tidak dihargai. Mereka mengabaikan aturan main, bahkan terlupa adab dan akhlak. Saya dipermainkan. Untuk apa saya di sini?"



Dulu, pernah saya berpikir sulit sekali memulai membangun sebuah gedung sekolah. Namun, semakin hari saya dikejutkan, bahwa ternyata membangun mindset itulah yang amat pelik. Merajut kebersamaan itulah yang amat menguras keringat dan airmata. Karena sulit, maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Jalan yang lebih terjal berliku. Dan proses yang lebih panjang.



Lalu, ketika durasi yang dibutuhkan memang menuntut lamanya waktu, yang dibutuhkan tentu keuletan dan kesabaran berlebih. Jangan berhenti di tengah jalan, karena siapa tahu sisa jarak yang harus ditempuh sudah tidak jauh lagi. Jangan menyerah pada banyaknya duri di jalan. Lewati dengan telaten, meski pelan tapi pasti. Dan jika perlu sambil singkirkan. Agar orang di belakang kita juga merasakan nyamannya melangkah.



Pahala, sekali lagi tidak bisa dicari. Dia datang dengan sendirinya. Menghampiri orang-orang yang tegar berdiri meski dihantam angin topan. Tak lelah berjuang, walau tanpa pengakuan. Tak berbaju amarah, meski diserbu ribuan kata cerca. Atau, mungkin bukan pahala yang kita inginkan? Namun justru sekadar imbalan?


Atiqoh Hamid. Pengasuh YPP Miftahul Jadid Banyuanyar Kalibaru Banyuwangi.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA