Jumat, H / 29 Maret 2024

Menjadi Pusat Perhatian

Rabu 27 Sep 2023 17:15 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: -


ESQNews.id - "Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memahami diri kita. Yang kita bisa adalah memaksa diri kita sendiri untuk memahami orang lain." (Aa Gym).


Di setiap interaksi, lebih-lebih kepada sesama manusia, bisa saling memahami adalah sikap penting di dalam menjaga kemesraan yang rukun. Sedang, kesanggupan untuk saling memahami ini, harus termulai dari pribadi masing-masing. Dan, munculnya ketidakharmonisan di antara sesama, terjadinya pertikaian dan permusuhan, serta semakin tingginya rasa amarah yang ada, adalah efek buruk dari ketidakmampuan memahami dan menguasai diri sendiri demi bisa memahami sesama umat manusia. Ini, semakin parah, ketika di dalam diri tumbuh nafsu ingin menang sendiri, ingin dipuja sesama, selalu ingin di depan dan paling berkuasa.


Sebenarnya, jika masing-masing diri mau dan berani menjadikan diri sebagai pusat perbaikan. Apa pun dan bagaimana pun saja yang terjadi atau hendak dikerjakan, dikembalikan dulu di dalam diri, maka bisa dengan ringan memahami sesama dan merajut bahagia dalam kemesraan yang indah. Jangankan bermusuhan, saling curiga dan berprasangka buruk saja, tidak akan pernah ada.


Menjadikan diri sebagai pusat perbaikan. Mengembalikan segala sesuatu ke dalam diri terlebih dahulu. Prakteknya, ketika misalkan dalam pandangan kita selalu menilai orang lain sebagai yang tidak baik, maka segeralah berinstrospeksi, jangan-jangan semua itu lantaran ada perasaan sombong di dalam diri, merasa sebagai yang sudah paling baik di antara semua. Bukan orang lain yang terlalu pendiam, tetapi diri sendirilah yang ternyata bermulut banyak. Bukan orang lain yang pelit, mungkin diri sendirilah yang merasa paling dermawan. Bukan orang lain yang sombong, jangan-jangan keangkuhan itu justru ada di dalam diri sendiri, berpenyakit merasa sebagai yang paling rendah hati. Dari itu, memberikan penilaian tidak baik kepada orang lain bukanlah sesuatu yang dibenarkan di dalam agama.


Selalu memandang tidak baik kepada sesama, rajin memungut ketidakbaikan atas kehidupan semua, adalah karakter diri yang terbentuk dari sampah-sampah iri dengki dan kesombongan yang menumpuk menjadi penyakit ganas di dalam hati. Secara fisik, memang terlihat sehat bugar. Tetapi, secara batin mengundang rasa kasihan. Sebab, kalau sudah menjadi karakter, akan sangat sulit dirubah dan diperbaiki. Makanya, tidak mengherankan jika terdapat ungkapan, "Jika ada berita tentang gunung berpindah tempat, percayalah. Tetapi, jika terdapat kabar tentang berubahnya karakter seseorang, jangan  begitu saja percaya."


Sama halnya dengan gerak reflek di dalam ilmu bela diri. Namanya saja reflek. Secepat apa pun bahaya yang akan mengenai, diri sigap untuk menghindar kemudian spontan menyerang balik. Tanpa berpikir. Tanpa harus direncanakan sebelumnya. Tanpa disadari. Begitu pun ketika satu kebiasaan sudah membentuk karakter seseorang, maka dalam satu kejadian tertentu secara spontan, tanpa disadari, akan muncul-muncul sendiri. Kalau kebiasaan ini baik, maka luar biasa.


Yang kasihan, kalau lisan hanya basah oleh ucapan-ucapan merendahkan, menghina, selalu mencap tidak baik atas diri sesama, rajin mengumpulkan hanya hal-hal yang tidak baik dari apa dan siapa. Jika ini yang terjadi, mau ibadah sebanyak apa pun, mau pandai model bagaimana pun, mau bergelar dan bertitel sekeren apa pun, tidak akan ada artinya. Malahan, semua hanya akan memperakut penyakit iri dengki dan semakin meninggikan rasa sombong di dalam diri. Naudzubillah.


Di sinilah letak pentingnya beragama. Tidak hanya membangun ketulusan dalam menghamba penuh setia kepada Allah Swt, tetapi menjadikan diri semakin berakhlak mulia kepada siapa dan apa saja. Dua point penting hidup beragama yang harus ditanamkan betul di dalam karakter diri. Sehingga, sepanjang waktu, selalu terjadi perbaikan-perbaikan diri untuk terus berusaha menjadi manusia yang hidup dengan penuh ketakwaan. Jadi, agama dihadirkan Allah Swt untuk menjaga manusia supaya istikamah berada di jalur benar yang diridhoi-Nya. Dan agama, bukan hanya untuk diceramahkan, bukan alat memperkaya diri, juga bukan untuk direkayasa demi meraih kuasa. Tetapi, membentuk manusia berakhlak mulia, kepada Allah Swt, kepada sesama manusia, dan terhadap semesta raya. Muaranya, hidup damai penuh bahagia di dunia, lebih-lebih di akhirat sana.


Untuk itu, atas nama Allah Swt, berteladan manusia paling mulia Rasulullah Saw, dan berbekal tuntunan agama-Nya, mari saling memperbaiki akhlak diri. Jadikan diri sebagai pusat perhatian untuk dikorek segala kekurangan demi perbaikan-perbaikan. Sebab, setiap apa saja yang dilakukan diri, baik atau buruk, semua kembali kepada diri masing-masing. Sehingga, jangan membuang-buang waktu dengan sibuk menjadikan segala hal di luar diri sebagai pusat perhatian demi menuruti nafsu untuk menemukan kekurangan dan ketidakbaikannya.

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA