Kamis, H / 28 Maret 2024

Mendidik Satu Generasi

Kamis 30 May 2019 09:50 WIB

Source :ESQ Magazine

Santri SMA Khadijah Islamic School

Foto: dok. KIS

ESQNews.id - Jika para pahlawan telah rela mengorbankan jiwa raga untuk membebaskan cengkraman penjajahan, lalu apa jadinya jika bangsa yang telah merdeka ini melanggar nilai-nilai kebaikan? Bagaimana nasib bangsa ini jika sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu dan belajar akan nilai kejujuran, malah mengajarkan kebohongan dan kecurangan?


Berangkat dari keprihatinan itu, berdirilah lembaga pendidikan yang diberi nama Khadijah Islamic School. Ade Aisyah selaku pendiri menceritakan bahwa lahirnya sekolah yang keseluruhannya perempuan ini karena merasa prihatin dengan pendidikan di Indonesia.



Sebelum seperti sekarang, dahulu yayasan ini masih berbentuk panti dan memiliki sejumlah anak asuh. Di sekolah, anak asuh ini disuruh oleh gurunya untuk menyontek saat Ujian Nasional agar mendapat nilai bagus. Tanpa dinyana, anak-anak ini menolak melaksanakan perintah sang guru.


Merasa perintahnya tidak dituruti, pihak sekolah pun mengeluarkan surat panggilan. Tidak hanya satu, bahkan Ade dapat dua panggilan sekaligus. Panggilan pertama karena sikap anak yang menolak diberikan contekan dan kedua dipanggil untuk memberikan bayaran atas kontribusinya yang sudah menyukseskan UN.


“Anak asuh saya menolak karena saya menekankan kepada mereka aspek kebenaran. Akhirnya pada tahun yang sama, kami canangkan untuk membuat sekolah sendiri. Di situlah lahir Khadijah Islamic School. Ini Bukan hasil yang didapat, tapi proses yang dijalani,” jelas perempuan kelahiran 26 Juni 1973 ini saat ditemui ESQ Life.


Khadijah Islamic School berdiri pada 2006 karena minimnya pendidikan formal bagi kaum dhuafa. Porsi yang diberikan untuk anak-anak tidak mampu sangat terbatas, sehingga banyak yang putus sekolah.


Selain mendapat pendidikan akademis formal yang berafiliasi pada Diknas, para siswi juga mendapatkan life skills yang bersumber dari fitrah mereka sebagai perempuan. Seperti memasak, menjahit, dan kerajinan tangan.


Dimana ketrampilan yang didapat disisipkan sisi entrepreneurship, sehingga apa yang mereka hasilkan dapat bernilai jual tinggi agar lebih berdaya guna. Selain itu, mereka juga bisa memasarkan dan mendapatkan keuntungan lebih dari sekedar membuat. Sehingga para siswi bisa memproduksi, mengemas barang dan mengerti bagaimana memasarkannya.


Langkah ini, lanjut Ade, agar remaja dari kaum dhuafa ini tidak lagi ketergantungan pada orang lain. Sehingga ketika dia selesai sekolah bisa mandiri, tidak hanya dari aspek keuangan tapi juga mengekspersikan fitrahnya sebagai perempuan.


“Tidak sedikit perempuanperempuan walaupun sudah lulus pendidikan menegah atas, tapi tetap tidak termandirikan. Mereka sangat tergantung dengan lembaga-lembaga swasta, seperti kantor ataupun perusahaan yang membatasi ekspresikan kiprah mereka sebagai perempuan khususnya sebagai ibu,” urai ibu dua anak ini.


Dalam penerimaan murid, menurut Ade pihak yayasan melakukan seleksi secara standar. Pertama keluarga siswi harus benarbenar dari keluarga dhuafa. Kedua motivasi atau kepribadiannya, karena ia menginginkan selepas dari sini para siswi bisa bermanfaat bagi pribadi dan masyarakat dengan keahliannya.


“Jadi bukan dari sisi akademis titik rekrutmen kami, tapi lebih pada kekuatan mereka sebagai agen perubah. Kami juga memberikan pembekalan ibadah, akhlak, dan pemahaman syariat yang dibutuhkan bagi perkembangan mereka,” ucapnya.


Ibu dari Safira Aulia dan Marsha Haya Akila ini menjelaskan bahwa seluruh anak didiknya tidak dipungut bayaran sepeser pun selama mengenyam pendidikan dan tinggal di asrama. Siswi-siswi berasal tidak hanya dari Jakarta, tapi dari luar ibukota bahkan sebagian dari Sumatera.


Karena tidak mempunyai dana yang cukup dan tidak memiliki usaha mandiri, sekolah ini dapat berjalan atas partisipasi dan dukungan masyarakat. Selain itu, pihak yayasan juga mengembangkan program beasiswa dan anak asuh serta program kemanusiaan agar kegiatan belajar mengajar ini bisa terus berjalan.


“Sejauh ini kami belum memiliki usaha mandiri, karena anak-anak kami waktunya habis untuk belajar. Jadi tidak ada ruang melibatkan mereka untuk usaha, kalau pun mau dipaksakan tidak akan mendapat hasil yang maksimal. Kedua kami tidak mempunyai modal yang cukup untuk menggembangkan dan merintis usaha,” kata istri dari Dedi Zulkarnain.


Ditanya alasan Khadizah Islamic School hanya menerima perempuan, Ade memaparkan bahwa perempuan di masyarakat masih menjadi masyarakat kelas 3, “Saya sangat prihatin saudara-saudara saya ini sering mengalah, padahal mereka sosok sangat strategis di masyarakat. Perempuanlah yang melahirkan dan pertama mendidik. Kalau kami mendidik satu laki-laki, maka kami hanya mendidik satu orang. Tetapi kalau kami mendidik satu perempuan, maka kami mendidik satu generasi. Perempuan adalah bagian yang sangat penting dalam peradaban manusia. Kepada perempuanlah kami prioritaskan pembinaan agar mereka bisa menjadi manusia yang berkualitas dan menghasilkan manusiamanusia yang berkualitas juga.


*Artikel pernah diterbitkan di rubrik Citizen, ESQ Life Magazine edisi Desember 2013.


Dapatkan Update Berita

BERITA TERKAIT

BERITA LAINNYA