Oleh: Ahmad Meilani (Guru di MILBoS Internasional )
ESQNews.id, JAKARTA - Hari yang cerah, bersyukur kita pada Rabb pemilik alam semesta yang begitu indah tertata ini, walau bermiliar jumlah makhluk-Nya dalam susunan tata surya, namun mereka tak saling berdebat atau menabrak, taat, dan bekerja sesuai dengan apa yang dititahkan-Nya.
Melangkah ke depan, menatap hari esok yang mendekat dan segera melipat cerita hari ini. Cerita kita esok hari tak lepas dari bagaimana kita memupuk dan menanam serta mewarnai kemarin lusa yang telah tiada, tapi terasa dampaknya esok lusa. Entah suka atau dengan terpaksa, ia akan ada sebagai buah dari tanaman kemarin lusa. Tentang cerita perjalanan kita reward-nya bergantung pada seberapa kita bersikap loyal terhadap apa yang kita kerjakan.
Loyalitas seseorang pada sesuatu akan rapuh ketika pijakannya terpaku hanya pada sesuatu yang fana. Loyalitas itu terlahir dari rasa cinta yang beralasan, motif, biasa orang menyebutnya. Tapi motif inilah yang menentukan bertahan lama atau tidaknya cinta itu. Motif kepentingan seperti ini biasanya ada dalam kancah kekuasaan dengan berbagai jenis dan levelnya. Kala kepentingannya tak ada lagi, hilang cinta dan tak ada lagi loyalitas.
Itulah yang kita saksikan di antara sebab cerita keruntuhan banyak kekuasaan yang pernah bercokol mewarnai dinamika cerita tentang sejarah dunia. Selalu ada tentang mereka yang tak setia, saat kemaslahatan untuknya tak lagi ada, atau ada tapi tak lagi meyakinkannya untuk bertahan lebih lama bersamanya. Itulah saat kondisi yang diloyali tak lagi dirasa memuaskan hatinya atau tepatnya memuaskan nafsunya.
Tapi, tak melulu begitu. Ada saatnya kekuasaan itu lenyap atau minimal melemah bukan karena kesetiaan dan loyalitas yang sirna, tapi karena kekuatan selainnya yang mendominasi, sehingga mesti menyerah dengan terpaksa karena tak kuasa membela.
Mari kita sedikit mengingat-ingat kembali sekitar dua atau tiga tahun sebelum deklarasi merdekanya negeri kita, kekuasaan penjajah Belanda yang bercokol lama di negeri kita justru berakhir dengan sangat singkat.
<more>
Dulu, sekitar 40-an tahun sebelum Jepang menduduki negeri kita, tersiar kisah bahwa Jepang adalah bangsa Asia yang mampu melumpuhkan bangsa Eropa Timur.
Kekaisaran Rusia pada perang Jepang-Rusia 1904-1905 bertekuk lutut. Kekalahan Rusia itu diberitakan sebagai awal mula tumbangnya kejayaan kulit putih atas bangsa kulit berwarna. Demikian seperti yang dicatat oleh Prof. A. Mansur Suryanegara dalam Api Sejarahnya.
Begitu pula dengan yang terjadi pada 8 Maret 1942. Melalui perjanjian Kalijati, di Subang Jabar, Belanda menyerahkan ‘Indonesia’ tanpa syarat kepada Letnan Jendral Kamamura, panglima tentara Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat.
Tapi, sekarang kita tak sedang belajar sejarah ya, itu karena bertepatan saja dengan akhir pembahasan dari buku Api Sejarah jilid pertama pernah saya baca. Kita di hari ini tidak sedang belajar sejarah, tapi sedang berupaya akan menuliskan dan memulai menata sejarah tentang kita, walaupun sekurang-kurangnya tergores dalam dinding jiwa saja, mungkin tidak tertulis dalam lembaran sejarah Indonesia, tentang apa? Tentang kawan-kawan kita para guru dan murobbi generasi di manapun berada. Kita mesti bangga walaupun dunia tak begitu mengenalnya (untuk sementara), tapi itu cukup bagi saya. Saat lensa kamera membuta, maka lensa manusia yang mencintai tanpa syarat tak mampu berdusta.
Dalam tradisi proses tarbiyah (pendidikan) dan pembinaan, penting pula untuk menjaga keutuhan sebuah makna, tak terkecuali dalam penamaan atau penyebutan istilah-istilah.
Fokus saya hari ini tertuju pada pelajaran penting dari pembekalan yang dilakukan oleh sebuah kampus kader guru yang membuat hati bergetar saat mendengar kisah juang mereka yang masih muda yang melakukan tugas besar dan mulia yaitu pendidik generasi umat dan bangsa.
Hari itu, Rabu malam, 12 Syawwal 1441 atau 3 Juni 2020. Ada apa dengan hari itu? Nampaknya itu hari bersejarah, tersurat dalam dinding-dinding sanubari perindu kebangkitan generasi penerus negeri ini. Dalam pembekalan yang berangsung hari itu, ada pesan-pesan penting yang disampaikan oleh pimpinan kampus kader guru tersebut. Tentu itu sangat berharga, karena akan jadi bekal perjalanan menjadi pendidik (murobbi) di usia yang relative muda, di mana banyak pemuda-pemuda di usia seperti mereka masih sibuk dengan tongkrongan tak berguna.
Kawan, ada satu istilah yang nampak ringan di lisan, tapi sangat besar dan agung ketika berubah menjadi peran dalam kenyataan. Murobbi. Ya, sebuah kata yang sering sekali diulang - ulang oleh Dr. Ahmad Hatta, sebagai pemateri utama pembekalan hari itu. Secara pribadi saya sangat familiar dengan istilah ini sejak SMA, bahkan mungkin sejak SD dulu, hanya saja waktu itu saya belum mengerti maknanya, Murobbi.
Dr. Ahmad Hatta, guru utama dan murobbi di Kampung Maghfirah, tempat kampus kader guru itu berada tak bosan mengulangi peran penting seorang murobbi ini. Hal itu menunjukkan urgensi dari peran murobbi dalam suatu upaya memperbaiki generasi pelanjut estafet juang membangun negeri ini. Secara makna murobbi itu sangat luar biasa. Ia tak hanya bermakna pendidik, tapi bermakna pendidik dan hampir semua peran orang tua ada pada perannya.
Kita tentu seharusnya tahu, bahwa ia merupakan profesi mulia para nabi. Kini, murobbi adalah istilah yang cocok disematkan pada mereka yang melanjutkan estafet para nabi dalam mendidik umat. Tak mesti disebut para ulama, tapi setiap yang berusaha mendidik dengan selalu berusaha bercermin dari pendidikan sang baginda, itulah murobbi hakiki.
Kawan, poin pentingnya, seorang murobbi itu memiliki ciri atau sifat yang khusus untuknya. Ada 8 sifat atau kriteria murobbi yang dianggap berhasil sebagai murobbi hakiki, pastinya murobbi keren itu. Mereka tak sempurna, pasti ada kekurangannya, tapi tak henti berusaha untuk lebih baik dan terus bertumbuh.
Salah satu dari sifat utama itu, dan ia berada pada urutan pertama yaitu الحب غير مشروط(1), rasa cinta kepada mutarobbi alias anak didik/santri TANPA SYARAT. Mencintai seutuhnya dan bertekad untuk terus mengembangkan dan menumbuhkan anak didik mereka dengan segenap potensi yang Allah anugerahkan kepada anak didik itu.
Semoga Allah menjaga mereka semua, para mujahid pendidik generasi umat dan bangsa. Saya hanya menatap dari kejauhan sebagai saksi atas dedikasi dan pengorbanan mereka, semoga lelah letih mereka di masa muda ini senantiasa selalu dalam bingkai keikhlasan lillahi ta’ala.
Selamat berjuang para murobbi, baik yang saya lihat maupun yang nun di pelosok-pelosok negeri ini. Semangat!