Jumat, H / 29 Maret 2024

Melipur Diri

Senin 18 Sep 2023 10:00 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: thayyiba


Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - Pernah merasa sangat iri terhadap keberhasilan yang diraih orang lain? Sedang, usaha sendiri yang sudah dijalankan sekuat diri tidak pernah sampai pada titik memuaskan.


Pernahkah berangan-angan "kenapa tidak kita saja yang seberuntung itu?" ketika melihat betapa sangat beruntung dan mudahnya hidup yang dijalani orang lain? Sedang, isi dompet sendiri hanya berupa lembaran-lembaran identitas.


Atau, justru hidup penuh luka sebab cinta yang tidak pernah berbalas, rindu yang tidak kunjung bertemu. Juga, sakit yang tidak segera sembuh, sedang berbadan sehat adalah angan-angan yang selalu membayangi.


Jika memang pernah, jangan buru-buru pergi ke dukun atau paranormal. Qiqiqiqiqiqi. Sangat perlu sekali kita meyakini bahwa yang didapatkan saat ini, itulah hadiah terbaik dari Allah Swt. Mutlak pilihan-Nya, yang sama sekali bukan kehendak kita. Kenapa patah semangat? Mengapa putus asa? Ini, hanya lantaran masih belum bisa menyadari hal itu. Bahkan, tidak bisa menemukan kebaikan-kebaikan dari setiap detail kepastian-Nya yang musti dijalani. Tidak pandai melipur diri.


"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." Begitu bunyi peringatan Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqoroh: 216.


Yang berlaku itu kehendak Allah Swt, bukan kemauan kita. Yang terjadi itu rencana Allah Swt, bukan keinginan kita. Sehingga, kalau ada yang kemudian bersedih, atau meratap penuh tangis, sebab suatu kepastian yang mesti dijalani, maka beristighfar adalah langkah yang paling tepat.


Sedih dan tangis, atau sampai pada taraf putus asa dan patah semangat. Bahkan sebaliknya, marah-marah tidak jelas, ketika yang direncanakan atau yang diinginkan sedikit pun tidak ada yang tercapai, sesungguhnya adalah tanda ketidaksetujuan diri atas takdir yang telah menjadi ketetapan Allah Swt. Sedang, ketidaksetujuan itu sendiri merupakan sebuah dosa yang musti segera ditaubati. Dan beristighfar menjadi satu-satunya jalan untuk sampai pada titik pertaubatan itu.


"Kok begini, kok jadi begitu, padahal sudah ini, telah melakukan itu." Begitu kerapkali komentar yang muncul di saat harapan dan keinginan diri tidak ternikmati. Hasilnya, tidak mendamaikan hati, tidak menentramkan pikiran sama sekali, malah sebaliknya. Padahal, hal mendasar yang harus dipahami adalah semua berkat perkenan-Nya. Boleh jadi seabrek rencana yang disiapkan, sejuta harapan yang dicanangkan, jika Allah Swt tidak berkenan, mau apa?


Menyerah, berpasrah semenjak dari bersit keinginan di hati, yang seharusnya cepat dikerjakan. Tetap berencana, tetap diusahakan sekuat tenaga setiap harapan dan keinginan. Tetapi, menyerah, berpasrah kepada Allah Swt adalah hal mendasar yang wajib dikerjakan. Lantas, ketika di tengah perjalanan proses ada sesuatu yang tidak diingini, jangan terburu-buru protes, melainkan haruslah beristighfar.


Istighfar ini adalah pengkondisian diri untuk bisa lebih menyerah dan berpasrah hanya kepada Allah Swt. Selebihnya, menjadi jalan untuk mendapat beraneka keberuntungan, sebagaimana janji-Nya dalam Q.S. Nuh ayat 10-12, "Maka Aku berkata (kepada mereka), Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai."


Selain menyadarkan diri untuk segera bertaubat dan kembali kepada Allah Swt, bahwa dalam segala sesuatu yang dipahami sebagai kesulitan nan menyakitkan itu, yang tentunya tidak disenangi, sejatinya Allah SWT sedang melakukan penjagaan atas diri kita. Bisa jadi, kita dihadang-Nya dari terjerumus dalam bahaya yang jauh lebih besar. Mungkin saja, jika seluruh keberhasilan itu terwujud, malah menjadikan diri lebih dari Fir'aun. Atau, jika kekayaan-kekayaan memenuhi diri, mungkin saja diri terjerumus pada perangai yang tidak baik seperti halnya Qorun. Jika dilanda sakit, kita istikamah berdzikir kepada-Nya, dan bisa jadi begitu sehat, menjadi lalai, bahkan berbuat menyimpang sekehendak hati. Sehingga, kesulitan-kesulitan yang ditimpakan adalah dalam rangka Allah Swt sedang menyelamatkan kita. Dan itulah tanda cinta-Nya.


Dengan demikian, setiap yang dirasa, wajib disyukuri. Itulah jalan bahagia yang menentramkan. Sedang, rasa syukur sendiri tumbuh dari prasangka baik kepada Allah Swt dan kesadaran tidak bisa apa-apanya diri melainkan berkat perkenan-Nya. Tanpa kedua hal ini, setiap diri akan tergerus nafsu, terombang-ambing oleh ketidakpuasan hidup dan puncaknya adalah sengsara. Dari itu, sangat beruntunglah manusia yang dalam keadaan apa pun menjadikan dirinya semakin mendekat, penuh cinta kepada Allah Swt. Dan celakanya celaka adalah yang dalam posisi bagaimana pun malah lalai dan melupakan-Nya.

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA