ESQNews.id,
JAKARTA – Jihad berarti berjuang dengan penuh kesungguhan hati. Dengan cara
mengeluarkan segala upaya kemampuan dan potensi kita di jalan Allah SWT. Jika kita
bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah SWT untuk menjalankan misi utama
manusia akan mendapatkan ganjaran yang lebih di sisi Allah SWT.
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW menyatakan: “Jihad yang paling utama adalah mengungkapkan
kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.” Pada kesempatan lain, Nabi
mengungkapkan, “Orang yang diam dari kebenaran, sama dengan syetan yang bisu.”
Di dalam
Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan menyegah
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung,” (Ali Imraan: 104).
Lalu, dalam
Surat Al-Muthaffifiin (1-6), Allah memberi peringatan: “Kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu yakin bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”
Ketika ditanya
tentang perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke nereka, Rasulullah
menjawab: “Dua bagian dari tubuh manusia, yaitu lisan dan kemaluannya.” Lalu,
perkara apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke Surga? “Takwa kepada
Allah, dan akhlak yang mulia.”
Mengungkapkan
kebenaran samanya kata dan perbuatan, tidak berbuat curang, itulah akhlak yang
mulia dan itulah kejujuran. Rasulullah menjelaskan: “Sesungguhnya, jujur itu
memberikan petunjuk kepada kebajikan, dan kebajikan memberikan petunjuk kepada
Surga.” Tentang perilaku yang sebaliknya, Nabi mengatakan: “Sesungguhnya dusta
itu memberikan petunjuk kepada hal-hal maksiat, dan hal-hal maksiat memberikan
petunjuk kepada Neraka.”
Dan,
“Sesungguhnya seorang lelaki tidaklah berbuat jujur sehingga dicatat di sisi
Allah sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya seorang hamba tidak berbuat dusta
sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
Sifat jujur juga
melekat dan tumbuh melalui sifat qana’ah,
menerima dan menggunakan segala sesuatu secukupnya, tidak berlebihan, menghindari
ketamakan. Kisah Khalifah Abu Bakar adalah teladan yang indah bagi kaum
muslimin.
Syahdan, sehari
setelah diangkat sebagai Khalifah, Abu Bakar ditegur oleh Umar bin Khattab
karena hendak berjualan kain ke pasar sebagaimana biasanya.
“Jika engkau
sibuk berdagang, siapakah yang akan melaksanakan tugas kekhalifahan?” tanya
Umar. “Jika tidak boleh berdagang, lalu bagaimana aku harus membiayai
keluargaku?” Abu Bakar balik bertanya.
Umar kemudian
mengajak Abu Bakar untuk menemui Abu Ubaidah – yang oleh Nabi dijuluki sebagai
“Penjaga Amanah” – untuk meminta ketetapan tentang gajinya. Abu Ubaidah pun
menetapkan jumlah tunjangan untuk Khalifah. Yang diambil dari Baitul Mal yang
besarnya sama dengan tunjangan untuk seorang muhajirin lainnya, tidak kurang
dan tidak lebih.
Hingga suatu
hari, istri Abu Bakar mengutarakan isi hatinya: “Aku ingin makan sedikit
manisan,” ujarnya. Abu Bakar berkata, “Aku tidak punya uang untuk membelinya.”
“Jika engkau
izinkan, akan ku hemat uang belanja sehari-hari agar dapat membeli manisan
itu,” kata istrinya. Sang suami setuju.
Beberapa waktu kemudian,
setelah tabungannya mencukupi, sang istri menyerahkan uangnya kepada Abu Bakar
untuk dibelikan manisan di pasar. Begitu menerima uang itu, Abu Bakar lantas
berkata, “Tampaknya, dari pengalaman ini uang tunjangan kita dari Baitul Mal
telah melebihi kebutuhan kita.”
Abu Bakar lalu
memutuskan untuk mengembalikan uang tabungan istrinya itu ke Baitul Mal. Dan
sejak itu, tunjangan Abu Bakar dikurangi sebesar uang yang dapat dihemat oleh
istrinya itu.
Alangkah
indahnya, bila bangsa kita mau berjihad, untuk berlaku jujur, mengungkapkan
kebenaran, menyamakan kata dengan perbuatan, tidak berbuat curang, dan qana’ah sekarang juga!
Pernah diterbitkan di ESQ Magazine No. 02/V Januari 2009