Oleh: Mushlihin*
ESQNews.id - Saya ajak anda mengambil hikmah dari kisah sederhana. Seorang imam masjid jami' desa. Orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna. Bicaranya kadangkala sepatah dua kata. Tapi santun dan bermakna. Tidak pernah berbusa-busa mulutnya. Menyampaikan ceramah yang tak penting isinya.
Ia lahir pada tahun 1950. Dari rahim ibu, seorang petani tebu. Peninggalan nenek moyangnya dulu. Penghasilannya tak menentu. Hanya cukup untuk beli beras dan tahu. Jarang sekali beli baju baru.
Kemudian sejak kanak-kanak ia cuma tinggal bersama ibunya. Lantaran ayah kandungnya menceraikan mamanya. Perbuatan halal namun dibenci Allah. Demikian tega bapak kandungnya berpindah ke wanita idamannya. Sungguh menderita hidupnya. Tanpa kasih sayang yang sempurna.
Selanjutnya ia ikut neneknya. Bekerja di ladang menanam padi, jagung dan palawija. Bahkan terkadang bermalam di sana. Untuk menjaga keamanan harta bendanya dari gangguan binatang dan tangan jahil manusia. Yang malas mencari nafkah halalan thayibah.
Beruntung ia mau bersekolah sampai lulus Madrasah Ibtidaiyah. Walaupun jaraknya sangat jauh dari rumah. Selain itu ujiannya sangat susah. Tidak sedikit dari temannya yang harus mengulang tahun berikutnya. Maka dari itu ketrampilan, pengetahuan dan sikap siswa betul-betul sangat luar biasa. Pendidikan karakter memang yang dikuatkan dan ditonjolkannya.
Beberapa tahun setelah lulus sekolah ayahnya meninggal dunia. Sawah ladang diberikan padanya. Yang lokasinya sangat dekat dari pemukiman warga. Lalu amat panjang dan lebar tanah pekarangannya. Karena ia merupakan anak semata wayangnya. Tidak memiliki saudara kandung, tiri dan saudara sepersusuannya. Warisan itu ia kelola dengan seksama, dibimbing bundanya.
Saat dewasa ia menikah dengan perawan desa. Dikaruniai 5 anak, 1 pria dan 4 wanita. Anak pertama, mengalami luka bakar yang sangat parah. Anak kedua, kena polio saat balita. Anak ketiga, pandai bersilat lidah. Anak keempat, fisiknya lemah. Anak kelima, susah diajak bermusyawarah. Itulah beberapa tantangan yang dihadapinya.
Namun ia punya keistimewaan. Yakni pendiam, orang yang sedikit bicara tapi banyak bekerja. Mengamalkan sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang baik-baik saja. Kalau tak bisa, lebih baik diam seribu bahasa. Begitulah prinsip hidupnya yang bisa membahagiakannya.
Jadi ia berusaha menjaga lisan. Ia terbiasa setiap hari membaca al quran dan buku keagamaan. Milik anak-anaknya dan sumbangan para dermawan. Menggunakan kaca mata pembesar yang sudah usang. Hingga khatam berulang-ulang. Agar bisa mengatasi istri dan anaknya yang mengalami kesulitan dan menunjukkan bila terjadi kesalahan. Serta merta rumahnya nampak terang benderang, tidak sepi layaknya kuburan.
Selain itu ia gunakan lisannya untuk dzikir kepada Allah. Ia betah berlama-lama bersimpuh (khusyu) memanjatkan doa. Melebihi jamaah lainnya. Memakai bantuan tasbih pemberian saudaranya. Sehingga banyak orang kagum padanya. Kok bisa ya? Sebab sebagian orang langsung pulang tak kerasan tinggal di rumah Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain ia adalah orang yang senang menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tak berguna. Seperti yang disinggung dalam surat al mu'minun ayat 3.
.وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
Makanya ia tergolong orang beruntung yang beriman.
Sebaliknya ia tak pernah membentak keluarganya. Meskipun mereka tak sudi membantu pekerjaanya. Ia lebih banyak memberi teladan daripada ucapan. Keteladanannya sering ditiru tanpa memaksa. Singkat kata ia diikuti secara sukarela dari lubuk hatinya. Oleh keturunannya yang saleh dan salehah.
Saudara sepupunya juga bicara santun padanya. Tak ada yang ngoko alias bicara kasar dalam bahasa jawa. Semua orang terdekatnya berbincang dengan bahasa yang halus dan lembut. Atau yang dikenal dengan krama inggil menurut adat Jawa. Padahal ia bukan umara atau ulama.
Sementara tetangganya selalu menyapa duluan. Karena mereka sudah paham akan watak bawaan. Sebagai orang pendiam. Bukan sombong, congkak dan bermaksud meremehkan. Sehingga ia sering dititipi uang. Untuk diberikan panitia pembangunan masjid dan sekolahan.
Tetapi bila tetangga ada yang merugikannya, mengumpat dan mencela, ia tak mau membalasnya dengan umpatan yang sama. Meski disuruh orang di sekitarnya, agar melawan dari tindakan semena-mena. Ia lebih memilih diam dan dipasrahkan semua yang melilitnya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Karena mengomentari orang yang terlanjur benci memang percuma.
Di samping itu ia pantang mencari alasan, bila diminta bantuan. Baik berupa tenaga, pikiran, maupun uang. Umpamanya berdalih banyak kesibukan, atau belum dapat bayaran, serta masih banyak hutang. Sebagaimana orang zaman sekarang.
Selain itu ia tidak suka cangkruan dipinggir jalan. Atau nongkrong di warung, siang atau malam. Meskipun rumahnya berdekatan dengan pusat keramaian. Apalagi ngomong tak karuan, menggosip, menghasut dan membahas keburukan seseorang.
Ia pun rela mengorbankan jiwa, raga dan harta demi kepentingan agama bangsa dan negara. Mengihlaskan tanah hibah untuk jalan ke sawah. Giat bergotong royong membangun desa. Tetap senang kekayaannya dinikmati orang-orang dhuafa. Pun pergi umrah karena Allah semata. Tanpa banyak cerita, apalagi berbuat riya.
Keluhuran akhlaknya membuat segan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Mereka siap membela, bila ada yang berani menganiaya dan mencelakakannya. Tak berlebihan jika ia digadang-gadang orang yang tepat menyandang sebagai contoh kepala keluarga sakinah mawadda warahmah. Tapi ia merasa, tak pantas mengusulkannya.
Atas dasar itulah ia ditunjuk mewakili imam besar masjid desa. Pada waktu jamaah dhuhur, asar, magrib, dan isya'. Amanat tersebut ia lakoni dengan segala daya dan upaya serta sekuat tenaga. Ia tinggalkan semua pekerjaan sebelum adzan tiba. Demi mengutamakan shalat berjamaah secara istiqamah. Tak peduli suara miring yang menyerangnya, sampai akhir hayatnya.
Akhirnya diam itu emas merupakan fakta dan besar keuntungannya. Dalam arti, diam itu bagus daripada bicara ngawur. Tapi jika anda mampu berbicara santun dan bermakna, jauh lebih bagus daripada diam.
*Penulis adalah PRM Takerharjo Solokuro dan Guru SMPN Karanggeneng Lamongan