Rabu, H / 23 April 2025

Ibu Berperan Penting Tanamkan 4 Pilar Berbangsa dan Bernegara

Minggu 02 Jun 2019 11:33 WIB

Source :ESQ Magazine

Melani Leimena Suharli

Foto: dok. ESQ

ESQNews.id - Di tengah masyarakat, terkadang masih ada saja orang yang menganggap remeh perempuan. Mereka dianggap kaum yang lemah dan hanya bisa menggerjakan pekerjaan rumah tangga saja. Sebuah pemikiran yang harus dibuang jauh-jauh. Sebab, kemerdekaan Tanah Air Indonesia tidak lepas dari kiprah perempuan-perempuan seperti, Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu dan banyak nama besar lainnya.


Para pahlawan nasional tersebut dengan gagah berani mengangkat senjata berperang melawan menjajah untuk satu tujuan, kemerdekaan. Untuk Ibu R.A. Kartini, kemerdekaan adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan formal seperti halnya laki-laki.


Di era modern, kaum perempuan tetap berjuang membela Tanah Air dengan banyak cara. Diantaranya dengan terjun di organisasi, LSM, atau melalui dunia politik, seperti yang dilakukan Melani Leimena Suharli.


Melani yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua MPR (2009-2014) menyayangkan stigma negatif terhadap orang-orang yang terjun ke dunia politik. Mereka menganggap dunia tersebut dunia yang kotor, sehingga banyak perempuan yang enggan terjun ke panggung politik. Padahal melalui politik, para perempuan bisa membela dan memperjuangkan kebijakan termasuk membuat undang-undang yang berpihak kepada perempuan untuk hal-hal positif.


Menurut wanita yang lahir dengan nama lengkap Lendra Kraton Melani Kusumahati Suharli Leimena, peran perempuan di parlemen sangat dibutuhkan. Terlebih dengan adanya undang-undang yang mengatur keterlibatan perempuan sebanyak 30 persen di parlemen. Sejak 2009, masuknya perempuan ke parlemen mengalami tren yang positif. Namun sayang, target 30 persen belum tercapai.


“Dengan perempuan lebih besar di parlemen, tentunya tugas-tugas di DPR dalam membuat undangundang lebih pro-gender. Kemudian tugas kedua dari DPR dengan membuat budgeting, juga lebih pro-gender. Kemudian tugas ketiga dari DPR yaitu pengawasan. Kita melihat apakah undang-undang dan budgeting yang disahkan oleh DPR benar-benar ditaati kementerian apa tidak,” terang istri dari Muhammad Suharli.


Melani mendorong seluruh partai untuk terus berperan aktif dalam merekrut anggotanya, khususnya kalangan perempuan. Bukan hanya sebagai calon legislatif (Caleg), tapi di pengurusan pusat dan daerah juga terakomodasi 30 persen perempuannya.


“Sehingga partai bisa merekrut perempuan yang sudah berperan, tidak mencari perempuan ketika Pemilu untuk memenuhi 30 persen. Dalam undang-undang, jika tidak memenuhi 30 persen akan dicoret daerah pemilihannya (Dapil). Jika terjadi demikian, partainya akan rugi,” tuturnya kepada ESQ Life.


Melani bersama para ketua dan wakil ketua MPR RI lainnya juga terus mensosialisasikan 4 Pilar Berbangsa dan Bernegara yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika kepada masyarakat. Kegiatan tersebut adalah bagian yang sangat penting untuk membangun bangsa yang memiliki nilai luhur.


Berikut wawancara khusus Joko Santoso dan Ave Rosa dari ESQ Life dengan Melani di ruang kerjanya, Gedung Nusantara III, Jl. Gatot Subroto No. 6, Jakarta.


Dari seorang pengusaha, bagaimana Anda bisa terjun ke dunia politik?

Saya dari dulu senang berorganisasi. Partai sendiri adalah organisasi, tapi organisasi politik. Jika sudah pernah ikut organisasi massa ataupun organisasi profesi, pasti akan tertarik juga untuk masuk organisasi politik.


Apa perbedaan organisasi sosial, profesi, dan massa dengan organisasi politik?

Kalau kita sudah berkiprah di organisasi profesi, seperti saya masuk Kadin (Kamar Dagang Indonesia), Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) dan sebagainya karena kita menyenangi. Kita masuk organisasi agar terbuka wawasannya, juga bisa mengajak atau meningkatkan kemampuan SDM anggota-anggota yang ada di organisasi itu.

Di organisasi non politik, Masalahnya, politik itu tercemar oleh beberapa oknum. Mungkin ketika masuk orang tersebut niatnya tidak benar atau niatnya benar, tapi tidak tahan gangguan.


Bagaimana Anda bersama rekan-rekan mengkampanyekan 4 Pilar Kebangsaan?

Pada awal kita mensosialisasikan 4 Pilar ini susah, tapi sekarang setelah 4 Pilar itu dirasakan manfaatnya banyak yang minta disosialisasikan, termasuk ibuibu karena dia ingin menerapkan ke anak-anaknya. Barack Obama (Presiden Amerika Serikat, Red) mengagumi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, itu diungkapkan saat ceramah di Universitas Indonesia. Dia mengatakan Indonesia beruntung memiliki Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.


Seberapa pentingkah ibu rumah tangga mengaplikasikan 4 Pilar Kebangsaan?

Ibu rumah tangga adalah pendidik utama dan pertama. Begitu anak lahir, ibu yang mendidik pertama. Lalu yang utama karena ibu mendidik 24 jam, sebelum dia masuk ke lingkungan sekolah. Dengan menghasilkan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas, ibu-ibu bisa menjadi pahlawan tanpa angkat senjata. Saya sendiri, baik melalui audiensi di MPR RI dengan organisasi-organisasi perempuan maupun sosialisasi ke daerah, terus mengajak para perempuan untuk sadar akan peran mereka menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam keluarga.


Apa hal yang membanggakan dan memprihatinkan dari perempuan Indonesia saat ini?

Kalau yang baik, banyak sekali kemajuan yang diperoleh oleh perempuan Indonesia. Posisi-posisi strategis yang dulu hanya diisi oleh laki-laki, sekarang juga bisa dijabat oleh perempuan.


Misalnya, kita pernah mempunyai presiden perempuan Megawati Soekarno Putri, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Saat kesempatan bagi perempuan sudah terbuka, tinggal kita mau atau tidak meraih kesempatan-kesempatan itu.


Kalau yang memprihatinkan, banyak perempuan yang tidak tahan iman ingin meraih sesuatu dengan cepat atau instan. Seperti yang terlihat sekarang. Dulu koruptor itu laki-laki, tapi sekarang perempuan juga. Saya sering bicara dengan kaum bapak, mereka menyatakan hidupnya lebih tenang kalau istrinya tidak minta macam-macam.


Dengan istri mengeluh, suami terdorong untuk membahagiakan istri, kemudian dia mencari jalan apapun untuk menyenangkan istrinya. Bahkan, bisa jadi jalan yang tercela seperti korupsi. Jadi, peran istri dan ibu sangat besar.


Selain berkiprah di dunia kerja, apakah Anda mendorong perempuan untuk berwirausaha?

Perempuan itu harus bisa menggali potensi masing-masing. Kalau saya ke daerah, selalu saya tanyakan mengenai Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) seperti apa. Karena Dekranasda suka menghimpun produk-produk yang dibuat para perempuan, khususnya dari industri perumahan. Itu harus digalakkan, karena potensinya besar sekali. Selain itu, yang harus digencarkan adalah promosi.


Sebagai ibu rumah tangga, apa yang Anda tekankan dalam keluarga?

Pertama yang saya tekankan adalah agama, karena agama bisa membentengi dari hal yang burukburuk. Misalnya saya bilang ke anak, kamu boleh lakukan apa saja asal jangan lupa sholat lima waktu. Tapi waktu dia kecil, kita terapkan pola yang bisa diterima. Seperti jangan buang sampah sembarangan, itu bagian dari menjaga lingkungan hidup. Terus, jangan mengambil yang bukan milik sendiri.

Diharapkan ketika sudah besar tidak mengambil punya orang. Kemudian ketiga anak saya harus ikut klub olahraga. Karena dengan masuk klub, mereka akan mempunyai rasa percaya diri yang lebih dan mempunyai jiwa sportifitas. Pola ini yang saya terapkan bersama suami kepada anak-anak.


Bagaimana Anda membagi waktu antara karir dan rumah tangga?

Dari dulu, sebelum menjadi pejabat negara saya selalu membagi skala prioritas. Selain itu paling penting adalah kita harus komunikasi, tidak hanya kepada suami tapi juga anak. Komunikasi itu nomor satu.


Apa cita-cita Anda sebelumnya?

Saya sebenarnya ingin menjadi dokter, karena saya sering melihat ayah yang seorang dokter (Johannes Leimena Mentri Kesehatan era Bung Karno, Red) memakai baju putih. Ketika lulus SMA, saya ingin mendaftar fakultas Kedokteran di UI, tapi karena teman masuk ke kedokteran gigi saya jadi kebawa arus. Tapi di tingkat tiga saya menikah.


Kenapa saya terjun ke politik, mungkin karena dulu saya sering melihat orang-orang politik bertemu di rumah Ayah saya di Jalan Teuku Umar. Saya melihat, politik itu tidak kotor tergantung individunya. Toh, ayah saya meninggalkan politik dengan bersih dan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.


Sebagai seorang alumni, bagaimana Anda melihat pergerakan ESQ dalam pembangunan karakter?

Saya bilang ini bagus karena menerapkan bahwa kita adalah hamba Allah. ESQ menggali rasa syukur yang diberikan pada kita. Pada waktu itu saat saya ikut, kita harus mengingat jasa orangtua. Kita dilahirkan oleh ibu, karena itu harus berbakti kepada orangtua. Jadi hablumminallah (hubungan manusia kepada Allah) dan hablumminannas (hubungan sesama makhluk Allah) harus baik.


Harapannya, setelah ikut ESQ kita menjadi mahluk yang baru. Ini seperti kita pergi umroh, di sana kita menangis. Tapi jangan sampai “tomat” alias tobat lalu kumat. ESQ lebih ke arah moral, saat ikut ESQ kita menjadi manusia yang optimis. Saat ikut pelatihan ESQ ada sesi ketika diajak menyemir sepatu orang lain. Jadi kita diingatkan agar jangan selalu merasa selalu di atas. Dunia itu berputar. Kalau jabatan seseorang sudah selesai dan dia tidak mempersiapkannya, bisa stress.

*Artikel pernah diterbitkan di rubrik The Way to Change, ESQ Life Magazine edisi Desember 2013.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA