KISAH
Oleh: Restu Ashari PutraESQNews.id, JAKARTA - Catatan ini aku tulis di suatu pagi. Sulit bagi seseorang untuk berubah. Tapi ada harga yang harus dibayar bagi seseorang yang ingin menjadi lebih baik. Harga kesakitan, harga kesabaran, harga berjuang, harga berkorban untuk mengorbankan segala hal yang dianggap nyaman dan enak. Sesuatu yang berat itu mahal, oleh karenanya sedikit orang yang mau mengambilnya. Kebanyakan orang hanya ingin mengambil yang ringan dan enak. Maka ya, sudah tentu kualitas hidupnya jadi murahan. Jika ingin sebaliknya, maka pekikkan takbir bahwa hari esok yang gemilang harus jadi milik kita dengan cara merebutnya sejak saat ini.Benar memang Rasulullah SAW dulu hidupnya tidak nyaman, oleh karenanyalah Islam berjaya. Dalam konsep Islam hanya dikenal kata Muthma’in untuk menggambarkan kenyamanan dan ketenangan. Dan itu adanya di dalam hati. Rumusnya cuma satu; Alaa bi dzikrillahi tathma’innul qulub, "Hanya dengan berzikir kepada Allah SWT hati menjadi tenang."Zona nyaman yang sering dipandang orang adalah zona yang dzahir. Padahal ada orang yang berusaha keluar dari zona nyaman karena itulah yang menyamankan hatinya. Sebab pada akhirnya pusat dari segala sesuatu adalah diri kita sendiri. Bukan atas apa yang dipandang orang lain.<more>Para Nabi saja oleh Allah sengaja diberi musuh. Bukan berarti mencari musuh. Itu tentu secara dzahir sangat tidak nyaman. Tapi ya itu tadi, untuk meraih kejayaan ada harga yang mesti dibayar. Kesuksesan itu mahal, maka cara menempuhnya pun tidak ‘murah’, bahkan mesti berdarah-darah."Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan." (Qs 6: 12)"Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong." (Qs 25: 31)Bahkan surga, kata Nabi SAW, itu dipagari oleh sesuatu yang dibenci (Makarih), sedangkan Neraka, lanjut beliau, dipagari oleh kesenangan dan keenakan-keenakan (Syahawat).Maka tidak aneh amal-amal kebaikan itu sekecil apapun rasanya pasti berat. Jangan jauh-jauh. Shalat fardlu yang cuma 5 menit saja beratnya minta ampun dibanding berangkat jalan-jalan ke Mall berjam-jam. Dipikir-pikir benar juga. Kita memang perlu merasakan ketidaknyamanan-ketidaknyamanan. Bahkan kalau perlu memaksakan diri memasuki ketidaknyamanan itu.Dalam tradisi agama ada namanya Riyadhoh, sering juga orang menyebutnya tirakat. Melakukan semacam amalan-amalan untuk melatih dan menempa diri agar terbiasa melakukan kebaikan. Dan memang beramal shalih itu mesti dipaksa karena kalau dilihat kategorinya yang fardlu ain terutama bagi seorang mukmin. Tandanya seseorang beriman adalah beramal shalih. Oleh karenanya bersyukurlah siapa saja yang sudah memiliki lingkungan yang memaksa dia untuk berbuat baik. Sebab saya sendiri merasakan betapa beratnya memaksa diri sendiri itu.Seperti dalam syair Burdah, An-nafsu ka-t-tifhli, hawa nafsu itu seperti anak kecil, kalau tidak disapih ia akan terus menyusu. Tapi kalau dipaksa untuk berhenti, ia akan terhenti.Dikisahkan ketika musim dingin tiba, Umar bin Khattab duduk dengan mengenakan pakaian tipis hingga tubuhnya menggigil kedinginan.Ali bin Abi Thalib menemuinya dan bertanya, “Semoga Allah selalu merahmatimu wahai Amirul Mukminin, apa perlu aku ambilkan baju tebal agar tidak kedinginan?"Umar menjawab, “Tidak perlu, aku lakukan ini agar aku bisa merasakan apa yang sedang dirasakan para fakir miskin itu.”MasyaAllah, sampai sebegitunya Sayyidina Umar memaksakan diri untuk melatih kepekaan jiwa dan perasaan. Seolah apa yang dilakukannya untuk perhatian terhadap segala urusan umat Islam masih kurang sampai harus sengaja kedinginan.Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi rahimahullah demi membebaskan Baitul Maqdis dari tangan penjajah sampai-sampai tidak enak makan dan tidur. Beliau tidak mau bergurau dan tertawa sebelum Al-Aqsha mampu direbutnya. Katanya, “Aku malu jika Allah melihatku tertawa, padahal Baitul Maqdis masih berada dalam cengkeraman orang-orang salib.”