ESQNews.id - Saat ini kita akan menyambut peringatan Hari Santri Nasional. Sebagaimana hari besar lainnya, setiap penetapan sesuatu, memiliki sejarah tersendiri. Dan setiap sejarah pasti memiliki makna dan filosofi yang harus diketahui.
Hari Santri merupakan momen untuk memperingati peran besar kaum kiai dan kaum santri dalam perjuangannya melawan penjajah yang bertepatan dengan dicetuskannya resolusi jihad. Sejarah membuktikan, para santri bersama dengan pejuang lain memiliki peran yang sangat penting dalam merebut kembali kedaulatan negara Republik Indonesia dari penjajah asing.
Pemerintah juga mengakui peran besar kaum santri. Mereka ikut berjuang dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak hanya secara fisik, namun juga sambung rasa dan kontak batin. Sebut saja antara lain KH. Hasyim Asy'ari yang merupakan salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah. Dua nama ini mewakili ormas terbesar di Indonesia. Di samping banyak lagi lainnya yang turut berjuang merebut kemerdekaan. Mereka menjaga keutuhan negara melalui berbagai peran dan cara.
HSN yang jatuh pada tanggal 22 Oktober memiliki makna yang sangat dalam bagi kalangan santri sendiri. Dalam sejarah, peran mereka untuk perjuangan bangsa sudah tidak diragukan lagi. Mereka turut berkorban demi mempertahankan kemerdekaan. HSN adalah momen mengabadikan sejarah serta membangun semangat untuk lebih memperbaiki diri demi kemajuan bangsa Indonesia ke depannya.
Mengingat sejarah sangatlah penting. Dari sejarah kita mendapat ilmu dan wawasan luas. Tujuannya agar kita bermuhasabah, memperbaiki kualitas pribadi demi kemajuan bangsa. Pijakan HSN adalah sejarah. Penghargaan terhadap andil kaum santri yang dianggap besar peranannya bagi tegaknya bangsa ini. Ingatan pada sejarah akan memberikan bekal bagi para santri di zaman modern ini untuk selalu berbenah, memperbaiki kualitas diri demi kemajuan bangsa Indonesia ke depan.
KH. Hasyim Asy'ari sebagai tokoh besar Nahdlatul Ulama menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa "Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardu ain atau wajib bagi semua orang". Seruan jihad inilah yang mengobarkan api perjuangan santri kala itu. menjadi fondasi dan pijakan gemuruh perjuangan. Pengobar api semangat pantang mundur. Kesatuan negara adalah harga mati. Dijajah dan kehilangan, atau berjuang hingga titik darah penghabisan.
Lalu, apakah ini hanya tentang santri Nahdlatul Ulama? Adakah di luar itu tak berhak andil? Tentu tidak. Resolusi jihad 22 Oktober adalah cikal bakal. Bukan satu-satunya. Perjuangan kemerdekaan adalah upaya semua orang dari berbagai sisi. Tidak di sini saja, namun di mana-mana. Pemicu adalah hal kecil yang memunculkan ledakan besar. Dan ledakan ini tumbuh dari seluruh bangsa yang menginginkan kemerdekaan.
HSN bukan semata euforia. Jika sebatas ini, maka sungguh akan rugi. Perayaan wah dan megah hanya omong kosong tanpa menjadi lebih baik. Toh, aktivitas penanda hari santri sudah kerap dilakukan oleh pesantren, bahkan sebelum HSN ditetapkan. Jika hanya mencari pengakuan atas kemegahan, maka HSN menjadi tak patut lagi dibanggakan. Gelaran upacara, karnaval, dan kirab meski sebatas seremoni, secara psikis diharapkan dapat membangkitkan kembali semangat kaum santri untuk berperan lebih baik bagi kemajuan bangsa.
Momen HSN adalah perbaikan pribadi dan jati diri. Bukan hanya pada peran hebat merebut kemerdekaan, namun seberapa besar andil dalam membangun bangsa. Membangun dengan perilaku positif. Membangun melalui kiprah yang tak main-main. Membangun bukan dengan retorika dan berpendapat saja, namun mampu melakukan tindakan nyata. HSN adalah momentum refleksi untuk berbenah demi peningkatan kualitas.
Dan, istilah santri sendiri, meski dinisbahkan pada orang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, dewasa ini telah mulai mengalami pergeseran. Tidak hanya untuk yang pernah nyantri, namun juga mereka yang cinta pesantren, cinta pendidikan Islam, cinta berbuat dan menebar kebaikan, dan cinta keutuhan NKRI. Kalau boleh saya mengutip penyampaian Kiai Muhammad Zuhri Zaini, pengasuh PP Nurul Jadid, klasifikasi istilah santri menurut beliau ada tiga. Santri hakiki, agak santri (bau santri), dan santri agak-agak (santri bau). Tentu, hanya pada dua jenis pertama, yang masuk dalam kategori bisa dikatakan santri.
Bangga menjadi santri, harus semangat juga menunjukkan kiprah yang membangun. Memanfaatkan teknologi untuk memajukan ajaran Islam yang benar dan santun. Berbuat manfaat bagi sesama, dan tak henti menebar kebajikan.
Jika kita rakyat Indonesia, jika kita cinta merdeka, jika kita ingin Indonesia lebih baik, jika kita adalah orang yang menghargai keringat dan darah para pejuang, terlebih jika kita alumni pesantren, maka HSN adalah hari kita untuk semakin meneguhkan itu semua. Mari menunduk berdoa, mari menengadah bertekad, Indonesia harus lebih baik.
*Atiqoh Hamid. Penulis adalah Pengasuh PP Miftahul Jadid, Banyuanyar, Kalibaru Banyuwangi
Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]