Kamis, H / 28 Maret 2024

Biar Sepi yang Menjawab

Kamis 14 Sep 2023 04:45 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: google image


Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - Suatu waktu, seorang guru menguji ketauhidan para muridnya. Dimintalah masing-masing mereka untuk menyembelih seekor ayam. Dengan syarat, tanpa sepengetahuan siapa pun. Singkat cerita, para murid kembali dengan membawa ayam yang sudah mati tersembelih. Kecuali, seorang murid saja.


Yang lain, dengan sangat bangga menceritakan tempat-tempat sepi yang tidak diketahui siapa pun. Tidak mungkin ada yang berkesempatan mengintip proses menetapi perintah dari sang guru tadi. Tetapi, yang salah seorang tadi, mengadukan ketidakberhasilannya. Sang guru pun mendedas kenapa sampai tidak berhasil menemukan tempat sepi yang tidak diketahui siapa pun.


Salah seorang murid tadi, di sepanjang gerak-geriknya, di mana pun saja berada, di kesepian bagaimana pun, merasa dalam pengawasan Allah Swt. Tidak satu peristiwa pun dalam kehidupan ini yang tidak disaksikan-Nya. Sehingga, salah seorang murid tadi memohon maaf atas ketidakberhasilannya itu. Lantas, sang guru menyampaikan, bahwa hanya seorang yang "tidak berhasil" inilah yang sejatinya telah sampai pada titik keberhasilan atas ujian ketauhidan yang diberikan.


Cerita ini, tentu tidak asing. Seringkali diceritakan. Tetapi, adakah hikmah yang bisa diambil? Adakah teladan yang bisa dicontoh untuk dijalani dalam hidup ini? Atau, cerita sekadar pewarna obrolan untuk melemaskan urat nadi yang tegang oleh kesibukan dunia?


Merasa diawasi Allah Swt. Inilah yang seringkali hilang dari diri kita. Lebih-lebih, kalau sudah mendamba ketenaran, disanjung banyak orang, semua yang diingini datang dengan bertubi-tubi, maka akan semakin menghilangkan kesadaran atas disaksikan-Nya diri ini. Padahal, kesadaran inilah yang pastinya membawa diri pada keselamatan dan puncak kebahagiaan.


Bahkan, kecenderungan nafsu diri ini adalah hanya terkurung pada pandangan manusia. Kedisiplinan, kedermawanan, beribadah, juga seluruh kebaikan yang dikerjakan hanya atas dasar pandangan manusia. Namun, di kala sepi, di waktu sendiri, merasa aman dari pandangan manusia, maka segera berbalik arah, enteng saja melakukan ketidakbaikan.


Lebih dari itu, kebaikan yang semestinya bernilai keakhiratan, yang harusnya meruhani, justru tidak dijalani sebagaimana mestinya. Semua, tertahan oleh kepentingan-kepentingan dunia. Tidak sampai pada keridhoan-Nya. Di zaman teknologi yang sedemikian modern ini, apa yang tidak bisa dipamerkan? Apa yang tidak bisa diniatkan untuk disanjung puja oleh mata manusia?


Demi Allah. Itu yang seharusnya ditancapkan betul di dalam hati atas setiap detail perbuatan yang dibiasakan. Jangan pernah sedikit pun terkotori oleh "demi-demi" yang lain. Cukupkan hanya pada Allah Swt.


Sehingga, di saat sepi sendiri, atau dalam keramaian, tetap istiqamah dalam kebaikan yang semata Lillahi Ta'ala. Dipuji atau dibenci manusia, tidak menjadikan terubahnya keistiqamahan diri untuk senantiasa baik. Sebab, yang memandang, yang menilai, yang kelak memberikan balasan, hanya Allah Swt.


Indikasi untuk diri, jika masih suka rajin ketika dilihat manusia, dan segera malas di saat sendiri, ini salah satu tanda tidak demi Allah Swt. Hal yang begini pun, tidak akan menjadikan diri sampai pada kebahagiaan yang sesungguhnya. Meruginya, dobel-dobel. Ibarat sudah jatuh, malah tertimpa tangga.


Misalkan, jika berbuat satu kebaikan, supaya dipandang hebat atau agar diperlakukan baik oleh manusia. Maka, jika berhasil pun, hanya sampai pada binarnya mata manusia penuh kekaguman kala memandang. Selesai. Puncaknya, bangga diri. Merasa paling baik sendiri sebab menjadi pusat perhatian. Kondisi ini, tidak pernah sampai kepada Allah Swt. Ini, jika berhasil yang diinginkan. Jika seandainya tidak berhasil, maka hanya akan menyulut dendam dan permusuhan di antara sesama manusia. Merasa tidak dihargai, merasa tidak dihormati. Selain memperburuk hubungan dengan sesama manusia, juga semakin menjauhkan diri dari Allah Swt.


Dari itu, bertauhid itu sesungguhnya adalah penuhnya hati hanya oleh Allah Swt. Juga, sibuknya diri semata Lillahi Ta'ala. Bertauhid itu di dalam diri. Sedang, segala yang nampak, semua jenis aktivitas hidup yang terjalani adalah perwujudan dari kebeningan hati hanya oleh Allah Swt itu sendiri. Sehingga, jika sudah dari Allah Swt, di dalam Allah Swt, dan pasti kembali kepada Allah Swt, maka tidak akan pernah ada lagi ruang untuk ketidakbaikan. Ke arah mana pun menghadap, dalam kondisi yang bagaimana pun juga adanya, jika hanya Allah Swt yang nyata di depan mata, akankah masih sempat berbuat dosa? Akankah tega hati untuk saling menyakiti?


M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA