ESQNews.id, JAKARTA - Sudah tak asing tentunya dengan permasalahan antara orangtua dengan anak. Entah itu karena masalah komunikasi, kesalahpahaman, berbeda pendapat dan lain sebagainya. Sampai orangtua bingung menghadapi anaknya ketika di dera masalah, berikut ini ada sesi tanya jawab (konsultasi psikologi) antara orangtua dengan Sang Ahli Psikologi.
Pertanyaan dari Ny. Dewi dari Bekasi:
Bu Lara, saya seorang ibu rumah tangga memiliki anak laki-laki, kelas 5 SD. Saya sedih sekali karena baru-baru ini mengetahui anak saya berbohong kepada saya selama ini, terutama dalam masalah belajar di sekolah. Saya merasa ini kesalahan saya juga. Saya pernah marah pada anak saya ketika sebagian besar nilai ujiannya hanya 6, dan hanya satu dua pelajaran yang mendapat angka 7. Dia sempat bohong dengan menyembunyikan hasil ujiannya. Tapi pada ujian yang lalu, nilainya bagus, paling kecil 8, bahkan ada yang 9.
Mulanya, saya senang sekali. Tapi,
kemudian saya agak ragu apakah memang anak saya memiliki kemampuan tersebut.
Akhirnya dia mengaku bahwa dia telah berbohong, dan mengatakan kalau dia
menyontek pekerjaan temannya. Yang lebih menyedihkan, ia merasa tidak bersalah
karena itu, katanya, sebagian besar temannya juga menyontek. Saya bilang, saya
lebih suka dia jujur pada dirinya sendiri daripada harus menyontek. Tapi anak
saya bilang kalau nilainya jelek, dia takut dimarahi oleh saya. Apa yang harus
saya lakukan, agar anak saya jujur? Terimakasih.
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Bu Dewi, untuk mengajarkan anak agar bersikap jujur memang dibutuhkan banyak faktor sebagai pendukung. Orangtua sebagai pribadi yang paling dekat dengan anak, harus menjadi teladan dalam mempraktekkan nilai-nilai kejujuran dalam keseharian. Guru anak di sekolah, juga harus memberikan contoh kongkret dalam pembelajaran, yang syarat dengan nilai kejujuran. Didikan lingkungan semacam ini, akan membiasakan anak dan melatih mereka untuk menerapkan hal yang sama dalam perilaku sehari-hari.
Situasi yang dihadapi oleh anak-anak kita sekarang ini memang relatif kompleks. Jika menyontek saat ujian sudah menjadi kebiasaan, tentu saja perlu usaha keras untuk mengubah “tradisi” tersebut. Dengan demikian, kita perlu melakukannya secara bertahap. Langkah awal, kita perlu memberikan rasa aman pada anak, baik secara fisik maupun psikologis, bahwa berkata dan berbuat jujur adalah suatu hal yang “membanggakan”.
Misalnya, ketika anak mengaku bahwa nilai ujiannya tidak baik, orangtua bisa menerima dengan lapang dada, dan menghargai kejujuran anak, serta memotivasinya agar berusaha untuk belajar lebih giat. Orangtua perlu menjelaskan pada anak secara eksplisit bahwa berkata jujur adalah perbuatan yang mulia, karena anak yang jujur belajar untuk siap menerima konsekuensi yang mungkin kurang menyenangkan.
Orangtua juga perlu meyakinkan anak bahwa kita harus belajar bersikap jujur mulai pada diri sendiri. Ketika orang tidak jujur pada dirinya sendiri, biasanya akan mengalami kesulitan untuk jujur pada orang lain. Bersikap dan berperilaku jujur akan menjadi “modal” untuk mendapat kepercayaan dari orang lain.
Dalam mendidik anak tentang nilai-nilai kejujuran, perlu kerjasama antara orangtua dan guru. Dalam hal ini, guru perlu memberikan contoh kongkret dalam kehidupan sehari-hari tertang perbuatan jujur.
Kita dapat melatih kejujuran dengan
memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk mengatakan pendapat dan
mengekspresikan perasaannya dengan nyaman. Kejujuran bukan sekadar memberi
kesan baik dalam berkata-kata pada orang lain, namun tidak diiringi dengan
tanggungjawab untuk menerapkan apa-apa yang dikatakan. Kata-kata dan perilaku
harus sejalan. Dengan demikian, tanda sukses kejujuran adalah dengan menjaga
janji kita, memberitahu kebenaran, berani menanggung akibat/konsekuensi
pernyataan dan perilaku kita, serta berani mengakui kesalahan.
Pernah di terbitkan di ESQ Magazine No. 02/V Januari 2009