Jumat, H / 29 Maret 2024

Teladan Cinta, Kiai Budi [Part 1]

Kamis 28 Sep 2023 15:35 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: zozu site


Oleh: M. Nurroziqi

 

ESQNews.id - Zaman yang semakin modern, dunia terasa begitu sempit. Sukses pembangunan yang merata hingga ke pelosok-pelosok desa, meninggalkan ruang-ruang sempit yang sangat minim bisa ditanami. Jika di kota-kota besar sudah tidak ada ruang untuk mendirikan bangunan baru, maka lahan-lahan di desa sudah seakan menjadi jamahan sebagai tempat mendirikan bangunan-bangunan mewah. Lantas, apa dampak buruknya?


Jikalau kota besar penuh polusi, juga banjir yang tidak bisa dihindari. Kemudian, menjadikan setiap masyarakat perkotaan rindu dengan ruang hijau yang sejuk. Sedang di desa, lahan-lahan pertanian sedikit demi sedikit berganti bangunan megah. Petani menjadi enggan mengolah sawah. Selain tersulut rasa modern yang menjadikan malu bertani, lahan pertanian sudah tidak luas lagi. Dan kelak, kebutuhan pangan akan sangat sulit didapat dari hasil jerih payah tangan para petani di negeri ini. Semua serba membeli. Sudah tidak ada yang menanam sendiri.


Adalah KH. Budi Harjono atau yang akrab disapa dengan Kiai Budi. Pengasuh Pondok Pesantren al-Ishlah, Tembalang, Semarang. Di antara sekian banyak sosok yang sangat peduli dengan kehidupan di negeri ini, khususnya bidang pertanian. Semakin terhimpitnya aktivitas pertanian oleh berbagai sebab, Kiai Budi ini terus menerus menggelorakan kepada masyarakat luas untuk mau kembali menanam. Hampir di setiap ceramah-ceramahnya adalah membangkitkan gairah mencintai kelestarian alam semesta dengan mau menanam.


Sedang, ajakan untuk mau kembali menanam itu, tidak hanya digembar-gemborkan dengan ucapan. Melainkan, di setiap kesempatan, khususnya ketika sedang berceramah di hadapan banyak orang, Kiai Budi ini kerapkali menyempatkan membagi-bagikan Caping atau Capil (topi khas yang dikenakan para petani) dan juga bibit-bibit tanaman. Keduanya dibagikan, tidak lain adalah dalam rangka menumbuhkan kembali gairah masyarakat untuk mau kembali menanam.


Tidak harus berprofesi sebagai petani. Melainkan, siapa pun saja yang memiliki ruang-ruang kosong di sekitar rumahnya ditanami tumbuh-tumbuhan sesuai selera. Dan bagi yang memang sudah seorang petani, supaya tetap teguh dengan kehidupannya sebagai petani. Meski petani sejatinya adalah sebagai pahlawan negeri yang mempersiapkan kebutuhan pangan. Tetapi, tidak sedikit pun punya keinginan dipandang sebagai pahlawan.


Sebagaimana Caping atau Capil yang dikenakan, yang ketika digunakan tidak hanya menjadi penutup kepala, pelindung dari panas dan hujan, juga mensamarkan wajah. Ini tanda harus sucinya hati dari riya' dan takabur. Sebagaimana halnya menanam. Bibit harus dikubur di dalam tanah. Tertutup. Hanya dengan begitu, bibit itu akan tumbuh, membesar dan berbuah. Amal pun begitu. Harus disirrikan. Jangan dipamerkan dalam keangkuhan riya' dan sombong. Supaya berbuah pahala dan keridhoan Allah Swt saja.


Kenapa harus dengan bergerak aktif membagi-bagikan Caping atau Capil dan bibit tanaman? Ternyata, menurut Kiai Budi, bahwa menggerakkan manusia agar mau berbuat baik itu tidak cukup hanya dengan ceramah sampai berbusa-busa. Itu belum cukup. Harus ada sesuatu yang benar-benar kuat mendorongnya. Dan sebagai dai, yang setiap hari berkeliling di berbagai daerah, berbagi Caping atau Capil dan bibit tanaman adalah jalan kebiasaan yang dipilih sebagai pendorong agar masyarakat semakin mau dan gemar menanam. Selain itu, di sela-sela kesibukan ceramahnya, Kiai Budi juga seringkali aktif berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan reboisasi di berbagai tempat.


Kemudian, yang juga dalam rangka memberikan dorongan kuat kepada masyarakat untuk mau kembali menanam, maka dibentuklah juga Komunitas Caping Gunung, atas inisiatif Kiai Budi sendiri. Komunitas ini telah terbentuk di berbagai daerah dan jumlahnya terus bertambah, dengan agenda utamanya adalah gerakan kembali menanam demi menjaga kelestarian alam.

 

Sedekah Bumi

Sedekah bumi adalah salah satu tradisi yang masih dilestarikan masyarakat pedesaan sampai hari ini. Sedekah bumi sendiri merupakan sebentuk ritual upacara yang diselenggarakan dengan pengharapan agar bumi yang didiami ini tetap subur dan senantiasa memberikan hasil panen yang melimpah ruah. Biasanya, sedekah bumi diadakan setahun sekali dalam waktu-waktu khusus yang sudah disepakati secara turun temurun.


Jika di Tuban, Jawa Timur, sedekah bumi ini biasanya dengan menggelar pentas Langen Tayub sebagai puncaknya, setelah sebelumnya diadakan selamatan secara serempak oleh masyarakat. Dan sekarang, tradisi Langen Tayub sendiri yang sudah tidak begitu diminati, maka puncak sedekah bumi tadi sudah banyak yang digantikan dengan acara-acara lain. Ada yang bernuansa religi dengan mengadakan pengajian. Tetapi, tidak sedikit pula yang kompak menggelar dangdutan.


Berbeda pemaknaan ketika Kiai Budi menjelaskan tradisi sedekah bumi yang telah ada semenjak nenek moyang itu. Memang tujuan utamanya adalah berdoa agar bumi ini tetap subur dan lestari dengan berbagai jenis ritual yang dijalani. Tetapi bagi Kiai Budi, sedekah bumi adalah mensedekahi bumi dengan bibit-bibit tanaman. Petani yang kesehariannya menggarap sawah ladangnya yang dimulai dengan menaruh bibit tanamannya itu adalah sedang mensedekahi bumi. Hasil panen yang bisa dinikmati sepanjang musim itu adalah hasil mensedekahi bumi.


Pohon-pohon menjulang tinggi, itu juga hasil dari mensedekahi bumi. Sehingga, dengan terus menerus mensedekahi bumi inilah, nampak sekali peran nyata seorang hamba Allah Swt di dalam menjaga tanggungjawab peranannya sebagai khalifatullah di muka bumi. Terus menanam, menjaga alam tetap lestari, menjaga siklus kehidupan tetap seimbang adalah tugas kekhalifahan manusia.


Baca juga : Teladan Cinta, Kiai Budi [Part 2]


*M. Nurroziqi, Anggota Komunitas Caping Gunung Tuban. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA