Kamis, H / 28 Maret 2024

Selalu Menemu Jalan Bahagia

Jumat 07 Sep 2018 14:17 WIB

M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: dok. ESQ

Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - Di kehidupan ini, kenyataan terhiasi dengan semua hal yang selalu berpasang-pasangan. Ada lelaki dan perempuan, ada siang dan malam, ada atas dan bawah. Juga mengenai nuansa pengalaman yang dirasakan, ada senang dan sedih, ada suka ada duka, ada sulit ada mudah, ada benar ada salah, surga dan neraka. Semua, terhampar bersamaan di hadapan manusia. Dan, di hadapan semua yang telah dipasangkan itu, manusia dianugerahi kebebasan untuk memilih jalan yang mana? Konsekuensinya, atas pilihan hidup yang sudah dijalaninya, kelak manusia dikenai pertanggungjawaban di akhirat. Bahagia dan susahnya, tergantung secerdas apa manusia di dalam menentukan pilihan hidupnya.


Kemudian, dibekalinya manusia dengan hati dan akal pikiran, adalah bentuk ke-Maha Pemuraha-an Allah Swt. Supaya, manusia memiliki kemampuan-kemampuan untuk menentukan jalan hidup yang indah dan membahagiakan bagi dirinya. Di sinilah letak ikhtiar. Sedang, Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw menjadi penuntun, juga pedoman, demi menemukan pilihan-pilihan yang terbaik. Dalam hal ini pun, ikhtiar juga berlaku. Sebab, ada yang memilih berpedoman Al-Qur'an dan Sunnah. Ada pula yang enggan memegangi kedua pedoman itu.


Soal ikhtiar ini, bukan tentang kepasrahan buta atas semua yang di depan mata. Diam dan tidak berbuat apa-apa. Tetapi, justru sikap cerdas dan tangkas dalam memilih jalan mana yang terbaik dan terindah. Hal ini pun, pernah dicontohkan dalam kehidupan khalifah Umar bin Khathab, sahabat dekat Rasulullah Saw. Suatu ketika, beliau berencana melakukan kunjungan ke Suriah. Tetapi, rencana itu urung dilaksanakan. Sebab, tersebar berita bahwa masyarakat di daerah tersebut sedang terjangkit wabah penyakit menular. Menanggapi sikap khalifah Umar bin Khathab tersebut, para sahabat banyak yang protes. ''Apakah Tuan hendak lari dari takdir Allah?'' tanya mereka. Jawab khalifah Umar bin Khathab, ''Aku lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain.''


Kisah di atas memberikan contoh, bahwa benar, tertular sakit atau pun tidak itu mutlak perkenan Allah Swt. Tetapi, jika di hadapan ada sesuatu yang memungkinkan menjadi sebab tertularnya penyakit, maka sikap yang diambil adalah menghindar. Sehingga, secara sebab, sudah menjauh. Akhirnya pun selamat dan tidak ikut terjangkit penyakit. Namun, ketika sudah menghindar dan menjauh dari segala yang menyebabkan tertular sakit, kok masih saja dianugerahi sakit, maka diri pun harus berusaha keras untuk mendapat kesembuhan. Lantas, di mana letak tawakkal atau kepasrahan manusia kepada Allah Swt? Tentu, di setiap detail pilihan dan tindakan, manusia harus sadar dan tawakkal betul, bahwa setiap yang dilakukan adalah mutlak perkenan Allah Swt. Laa haula wa laa quwwata illa billahil 'aliyyil 'adhim.


Selanjutnya, cerdas dan tangkas di dalam pilihan-pilihan hidup, harus juga senantiasa dimanfaatkan setiap diri di berbagai kondisi. Bahkan, ketika diri dihimpit ragam kesusahan dan kesulitan, yang pastinya sama sekali tidak diinginkan. Pernah berhadapan dengan sesuatu yang tidak pernah diinginkan? Sangat ingin dijauhi? Pernah, bukan?


Sederhananya, jika pas berhadapan dengan sesuatu yang tidak disukai. Pastilah diri mengalihkan pandangan ke arah lain. Bahkan, ketika tiba-tiba ada sesuatu yang menakutkan, buru-buru menutup muka. Spontanitas sikap begitu, adalah naluri diri menghindari segala hal yang dirasa tidak baik. Yakni, dalam rangka menyelamatkan diri. Naluri ini, setiap yang bernyawa pasti memiliki. Semua. Tidak hanya manusia.


Tentunya, sangatlah penting pengalihan itu. Lebih-lebih keterkaitan diri di dalam memandang rangkaian hidup yang dialami. Satu kejadian, bisa sangat beragam tanggapan perasaan yang muncul dari benak setiap orang. Dan orang-orang hebat itu, selalu menemukan kebaikan-kebaikan di setiap kejadian. Bahkan, setiap hadir hal buruk apa pun saja, maka segera ia menemukan hal-hal baik yang menghebatkannya. Tidak pernah lama-lama terkurung dalam penjara ketidak baikan. Selalu menemukan celah untuk segera selamat nan penuh kebahagiaan.


Menunggu, misalnya. Bisa menjadi sesuatu yang sangat membosankan bagi seorang yang tidak pandai menemukan pengalihan. Namun, bagi yang cerdas, moment menunggu bisa jadi sangat menyenangkan. Dipenuhi beragam aktivitas manfaat nan menyenangkan. Sehingga, waktu terasa sebentar.


Sakit pun begitu. Pasti derita yang dirasa, jika hanya melulu berkeluh kesah yang dikerjakan. Tetapi, yang memandang Allah Swt hendak menghapus dosa-dosa melalui rupa sakit, pastilah seketika derita tiada terasa. Bahkan, syukur yang akan terus diucap.


Jika misalnya lagi, ban kendaraan kita tiba-tiba kempes di tengah perjalanan, bagaimana sikap kita? Jangan mengumpat. Itu bukan kesialan. Bisa jadi Allah Swt sedang memperlambat jalan yang musti ditempuh. Untuk apa? Pastinya, demi menyelamatkan kita dari bahaya-bahaya yang lebih besar di depan sana. Atau, Allah Swt sedang mengutus kita untuk menyalurkan rezeki-Nya atas pekerjaan tukang tambal ban. Tidak sembarang orang yang dijadikan perantara hantaran rezeki-Nya begitu, bukan?


Dan tentu, masih banyak adegan kehidupan ini yang musti coba dialihkan cara pandang kita, cara kita menerima, dan bagaimana menjalani semua. Agar apa? Minimal, agar tidak gampang stres dan frustrasi. Pastinya, agar setiap diri menjadi semakin sabar dan pandai bersyukur. Sehingga, hidup semakin nikmat, semakin selamat, dan semakin membahagiakan.

 

M. Nurroziqi. Penulis buku-buku motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]

Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA