Jumat, H / 29 Maret 2024

Hikmah Bolu Pisang dan Es Krim (2)

Senin 17 Feb 2020 09:27 WIB

Reporter :Redaksi

Ilustrasi

Foto: thewoodandspoon.com

ESQNews.id, JAKARTA - "Ada apa Bu?" tanyaku. Semoga saja wanita baik ini akan memberikanku perkerjaan. Apa saja boleh, bahkan yang terkasar sekalipun akan kuterima. Tapi gak mungkin, di rumah besarnya sudah ada dua pembantu yang siap sedia. Aku kembali membuang anganku.

 

"Gini, ibu jangan tersinggung ya," Bu Tia menatapku. Aku mengangguk, ingin kukatakan bila rasa tersinggung itu sudah lama lenyap dalam kamus hidupku.

 

"Papanya anak-anak kan baru pulang jemput kakek neneknya dari bandara. Ya dasar laki-laki tahunya kan cuma nyenengin anak tapi gak tahu yang baik." Aku mengangguk walau belum paham kemana arah pembicaraan.


"Masa dia ngebeliian anak-anak es krim sampai lima buah. Padahal anakku kan masih batuk pilek parah. Jadi, daripada buat rusuh, mau ya Bu nerima es krim ini, untuk Dika dan adiknya," Bu Tia menyerahkan plastik putih berisi es krim padaku.

 

Aku terdiam tak sanggup berkata-kata. "Asikkk," Dika bersorak, aku masih bergeming. "Lo, yang ibu bawa itu apa?" tanya Bu Tia melirik kantong hitam berisi dua kotak bolu pisangku.

 

"Bolu pisang Bu, tapi gak manis, kebetulan yang mesan batal," ucapku.

 

"Wah kebetulan, neneknya di rumah itu diabetes jadi gak bisa makan manis. Saya beli ya untuk cemilan," tanya sang tetangga itu.

 

Saking senangnya, bolu pisang tersebut dijual dengan harga berapa pun. Bu Tia menyerahkan dua lembar uang merah ke dalam genggamanku.

 

"Ya Allah Bu ini kebanyakan," ucapku.

 

"Sudah, gak apa. Ambil saja, kalau mesan yang kayak gini emang mahal kok Bu," Bu Tia langsung mengambil kantong berisi bolu pisang dan bergegas pergi. Aku masih diam dengan air mata yang mulai menetes lagi. Baru saja mengeluh akan pahitnya hidup dan kini semua telah terbayar lunas.


<more>


Bu Tia meletakkan bolu pisang yang baru ia beli di atas meja makan. Ia duduk dan memandang dua kotak bolu pisang itu dengan tatapan berkaca. Sungguh zolim sebagai tetangga, bahkan ada seorang janda yang kesusahan pun ia tak tahu.


Sementara baru saja ia membeli tas branded seharga jutaan dan tak jauh dari rumahnya ada seorang anak yatim merengek pada ibunya hanya demi sebuah es krim. Untung saja Fahri putranya bercerita, bila tidak pastilah kezoliman ini akan terus berlangsung.

 

"Ma, tadi yang juara 1 Dika, tetangga kita yang di ujung itu." lapor putra sulungnya. "Bagus dong, les dimana dia?"

 

"Gak les kok, Ma. Orang dia miskin kok," jawab anaknya.

 

"Hey, gak boleh menghina orang lain," Bu Tia melotot pada putranya.

 

"Gak menghina kok. Kenyataan emang dia miskin. Kasihan deh Ma, masa kan ibunya janji mau beliin dia es krim kalau ranking satu eh pas dia ranking malah ibunya bilang tunggu ada uang. Kasihan banget Dika ya , Ma. Mana kalau di sekolah dia suka mandang jajanan temannya kayak ngeiler gitu tapi pas dikasih dia nolak. Malu mungkin ya, Ma." Fahri bercerita panjang lebar.

 

Bu Tia terdiam.

 

Ya Allah mengapa ia tak tahu? Selama ini, ia aktiv ikut kegiatan sosial, mengunjungi panti asuhan ini dan itu. Namun ia abai akan keadaan di sekitar.

 

"Ma, bolunya gak ada rasa, kurang enak," ucap Fachri membuyarkan lamunannya.

 

"Sengaja, makannya bukan gitu. Tapi kamu oles mentega dan taburi meses atau kamu oles selai buah."

 

"Ohhh, gitu ya. Tumben mama pesan bolu tawar."

 

"Lagi pengen aja."

 

Bu Tia menghela napas panjang. Tak akan terulang lagi, jangan sampai ada tangis anak yatim yang kelaparan di sekitarnya.

 

Anak yatim itu bukan tanggung jawab ibunya saja tapi keluarga dan orang sekitar.


Sepele bagi kita namun berarti bagi mereka.

 

Ada kala sisa nasi kemarin sore yang tak tersentuh di atas meja makan kita adalah mimpi dari anak-anak yang telah berhari-hari terpaksa hanya berteman dengan ubi rebus saja.

 

Jangan heran menatap binar seseorang yang begitu terharu ketika gaun pesta yang menurut kita sudah ketinggalan jaman itu kita berikan pada mereka.

 

Uang lima puluh ribu yang sangat mudah lenyap ketika dibawa ke mini market bertukar dengan kinderj*y dan beraneka jajanan yang habis dalam sekejap itu adalah setara dengan hasil kerja keras seorang buruh dari subuh hingga menjelang Magrib.

 

Bersedekah itu gak perlu banyak, sedikit saja dari yang kita punya. Memberi itu jangan menunggu kaya, saat kekurangan lah justru diri harus lebih bermurah hati.

 

Beruntunglah bila di sekitar begitu banyak ladang sedekah dimana kita dapat menukar rupiah menjadi pahala. Kaya itu bukan pada jumlah harta tapi bagaimana kita membelanjakannya. Akherat itu ada dan sudah kah kita menyiapkan hunian di sana.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA