Jumat, H / 29 Maret 2024

Hati yang Mapan

Selasa 03 Oct 2023 10:01 WIB

Author :M. Nurroziqi

ilustrasi.

Foto: shutterstock


Oleh : M. Nurroziqi

ESQNews.id - "Siapa yang tidak bersyukur atas nikmat-Ku, tidak bersabar di setiap ujian-Ku, dan tidak ridha atas Ketetapan-Ku, maka keluarlah dari langit-Ku, dan carilah Tuhan selain diri-Ku." (Hadits Qudsi).


Rezeki itu hanya mencari mereka yang benar-benar mau menerima. Sebab, rezeki itu pemberian. Anugerah. Bukan berdasar pesanan. Sesuai takaran mutlak dari Yang Maha Memberi Rezeki. Sehingga, keikhlasan hati penerima menjadi ukuran tinggi rendahnya kualitas rezeki tadi. Semakin ikhlas hati ketika harus menerima, akan menambah semakin besar rezeki yang musti diterima.


Namun, keikhlasan hati untuk menerima segala yang direzekikan ini, adalah sikap yang tidak mudah untuk dimiliki. Apalagi diri ini masih dipenuhi nafsu dan ambisi, makin sulit sekali tumbuh ikhlas di hati. Mungkin, sering kita mendengar ungkapan, "jangan menolak rezeki, tidak baik." Tetapi, pernahkah kita sedikit berpikir dan merenungi, apa dan bagaimana sikap penolakan diri atas rezeki tadi? Apa tanda ketidak-ikhlasan hati ketika harus menerima rezeki?


Tentang peristiwa hujan, misalnya, yang di dalamnya mengandung rahmat luar biasa dari Allah Swt. Kerapkali masih ditanggapi dengan nada-nada tidak ikhlas. Hujan deras, dibilang terlalu deras. Lebih-lebih ditambah petir dan angin yang kencang. Hujan tidak turun, dibilang cuaca semakin panas saja. Hujan kok tidak turun-turun. Begitu sedikit-sedikit hujan, dibilang hujan kok tidak serius. Ini baru hujan. Satu rahmat yang mustinya disyukuri. Seringkali kita merasa paling paham dengan takaran-takaran seberapa dan kapan hujan harus turun. Padahal, sebagai manusia, tidak bisa apa-apa selain menerima apa yang sudah menjadi perkenan-Nya.


Itu, baru hujan lho? Bagaimana dengan seabreg rezeki yang kita sendiri tidak mungkin bisa menghitung, bahkan tidak menyadari itu sangat berharga bagi diri. Ada yang sadar tentang peristiwa kedipan mata? Ada yang merasakan betapa derasnya aliran darah di dalam tubuh kita? Masuk dan keluarnya nafas? Hanya ketika terjadi masalah, seringkali diri baru menyadari bahwa semua itu sangat berharga bagi kehidupan ini. Sedang uang, tidak ada harganya di hadapan semua anugerah yang luar biasa itu. Alhamdulillah. Matur suwun Ya Allah.


Jadi, jangan salah paham. Bukan banyaknya uang, mewahnya bangunan istana yang dipunya, atau beragam harta dunia sebagai kekayaan. Bukan. Tetapi rasa menerima. Qonaah. (Laisalghinaa 'ankatsrotil 'arodhi, wa laakinnal ghinaa ghinannafsi). Sederhananya, menerima itu menikmati. Benar-benar hati yang bertindak, bukan pikiran. Lisan ini diam atas segala rupa yang direzekikan Allah Swt.


Jika sudah demikian, maka bahagialah diri. Tetapi, kalau belum apa-apa sudah tidak bisa menerima, dan akal pikiran sudah sedemikian rupa berperan seakan penuh logika untuk menolak semua yang semestinya bisa diterima dengan lapang dada. Maka, tidak mungkin bahagia yang ada. Melainkan hanya kecewa. Bahkan malah luka. Biar pun tidak terhitung lagi jumlah keberpunyaan atas dunia, jika hati tidak menerima, miskinlah dia, selalu merasa kurang, fakirlah ia. Kefakiran yang demikian inilah yang dekat sekali dengan kekafiran (kada al-faqru an-yakuuna kufron). "Hampir saja kefakiran menjerumuskan kepada kekafiran."


Bahaya sekali bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak. Terjadi banyak kejahatan, merampok, korupsi, menipu, dengan cara yang nyata kasar atau halus berbalut rayuan manis dengan iming-iming bahasa sayang, adalah bermula dari kefakiran diri, rasa tidak ikhlas menerima kondisi diri, iri atas keberuntungan orang lain, merasa kurang dan terus kurang. Thoma'. THOMA’ adalah suatu sikap bathin seseorang yang selalu diwarnai harapan akan pemberian orang lain sebab  dirinya meragukan atas hal-hal yang telah ditaqdirkan oleh Allah swt. Jadi, berhati-hatilah. Jangan sampai di dalam hati dirasuki penyakit yang sedemikian itu.


Dengan demikian, jika seandainya masih saja ada keluh-kesah, rasa kecewa dan sakit, tidak kuat menerima keadaan, juga sulit ikhlas menjalani kehidupan, serta beragam kondisi diri yang kurang baik atas rezeki Allah Swt, maka yang mendasar harus dilakukan adalah menguatkan keyakinan diri bahwa Allah Swt hanya menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, tidak sedikit pun hendak menyakiti. Kalau keyakinan sudah benar-benar kuat, maka yang tidak kalah penting adalah harus bisa memandang baik seluruh keadaan yang menimpa dan takdir yang musti dijalani.


Jika dua sikap itu -yakin tidak ada hal buruk yang diperkenankan Allah Swt dan senantiasa berprasangka baik kepada-Nya- sudah terbiasakan di dalam diri, maka rasa syukur penuh kebahagiaanlah yang selalu ternikmati. Rasa syukur itu adalah wujud dari kepandaian diri di dalam menerima apa pun saja yang direzekikan Allah Swt.


Kalau sudah bisa ikhlas menerima, Allah Swt sudah menjanjikan hendak melipatgandakan setiap pemberian-Nya. Beda, jika diri selalu saja tidak bisa menerima segala apa yang direzekikan Allah Swt. Maka, sedih dan kecewa yang selalu melanda. Tidak cuma itu, Allah Swt memperingatkan betapa sangat pedih siksa-Nya jika seandainya ada yang ingkar terhadap pemberian-pemberian-Nya. "La-insyakartum la-aziidannakum, wa la-inkafartum inna 'adzabii lasyadiid." (Q.S. Ibrahim: 7).

 

*M. Nurroziqi. Penulis buku-buku Motivasi Islam. Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA