Kamis, H / 28 Maret 2024

Hanya 45 Persen yang Memiliki Meaning dalam Bekerja di BUMN

Senin 08 Nov 2021 10:50 WIB

Reporter :Endah Diva Qaniaputri

Tangkapan Layar

Foto: dok. ESQ

ESQNews.id, JAKARTA - Dalam rangka membantu meningkatkan kinerja di BUMN, ACT Consulting International kembali melakukan riset pemetaan dan pengukuran indeks kesehatan budaya kerja terhadap implementasi Core Values AKHLAK BUMN, hingga awal November 2021 ini. ACT Consulting International telah melakukan pemetaan dan pengukuran terhadap 91 BUMN serta anak perusahaan (anper) menggunakan metode ACHI (AKHLAK Culture Health Index).


Dengan metode tersebut, bisa diketahui Indeks Implementasi AKHLAK, yaitu sejauh mana nilai-nilai AKHLAK diimplementasikan di dalam korporasi baik yang dialami maupun yang diamati oleh para karyawan dalam perilaku kerja sehari-hari.

Selain mengetahui Indeks Implementasi AKHLAK, terdapat juga hasil analisis dari 6 area kesadaran organisasi yang berpusat pada Sustainability, Relationship, Performance, Growth, Common Goals, Meaning Purpose.

























ACT Consulting telah menganalisis ke-6 area kesadaran organisasi tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa dari 91 BUMN bersama Anpernya yang sudah diukur, 45% di antaranya tidak menunjukkan fokus pada area 6 yaitu membangun meaning and purpose. Sedangkan 100% dari BUMN atau semuanya menunjukkan fokus pada area 4 yaitu melakukan perubahan atau transformasi (Growth).

“Secara umum keseimbangan fokus BUMN baru tersebar di 5 area yaitu Sustainability, Relationship, Performance, Growth dan Common Goals,” kata Founder ACT Consulting Ary Ginanjar Agustian yang memberikan kesimpulan hasil analisisnya.

Menurutnya, ada Gap (celah) di area Meaning and Purpose. Ini perlu diperhatikan oleh insan BUMN. Padahal penting sekali karyawan atau insan BUMN memiliki meaning and purpose dalam hidupnya. 

Ary Ginanjar sering membahas tentang Grand Why di dalam training atau seminarnya. Ketika seseorang sudah menemukan makna dan tujuan yang luhur dalam hidup, ia akan selalu berpegang teguh kepada Grand Why (pengabdian tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Ketika sudah memiliki meaning and purpose, ia akan lebih bersungguh-sungguh saat bekerja atau menjalankan kehidupan sehari-hari. Tentu dengan penuh keikhlasan, rasa tentram, damai dan bahagia.

<more>

Psikolog Mihàly Csìkszentmihàlyi melakukan sebuah riset terkait pengaruh seseorang ketika sudah menemukan makna dan tujuan dalam pekerjaannya. Hasilnya ditemukan bahwa mereka lebih produktif dan memperoleh kepuasan yang lebih besar dibandingkan mereka yang tidak memiliki makna dan tujuan.
 
Mereka menetapkan tujuan bagi diri mereka sendiri untuk meningkatkan kemampuan mereka, dengan demikian energi yang dikeluarkan menjadi maksimal. Dan mereka menyatakan kesediaan untuk mengulangi kegiatan-kegiatan dalam pekerjaan yang telah mereka capai meskipun mereka tidak dibayar untuk melakukannya.
  
Lalu bagaimana jika seseorang bekerja tanpa meaning of work? Menurut penjelasan dari Csìkszentmihàlyi, ada tiga kondisi atau tiga kategori yang berpengaruh terhadap tingkat kinerja seseorang. Pertama adalah dari sisi Kecerdasan Intelektualnya (IQ) yang mencakup elemen-elemen seperti kejelasan peran, pemahaman yang jelas tentang tujuan, dan akses ke pengetahuan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan.
 
Ketika IQ lingkungan kerja rendah, energi yang dibawa karyawan ke tempat kerja salah arah dan sering bertentangan.
 
Kedua, dari sisi Kecerdasan Emosional  (EQ) yang melingkupi kepercayaan dan rasa hormat, konflik konstruktif, rasa humor, perasaan umum bahwa "kita bersama-sama," dan kemampuan yang sesuai untuk berkolaborasi secara efektif. Ketika EQ tempat kerja kurang, energi karyawan menghilang dalam bentuk politik kantor, manajemen ego, dan penghindaran pasif-agresif dari masalah-masalah sulit.
 
Terakhir, dari sisi Kecerdasan Moral (MQ). Ketika MQ lingkungan bisnis rendah, karyawan mengeluarkan lebih sedikit energi ke dalam pekerjaan mereka dan melihatnya sebagai "hanya pekerjaan" yang memberi mereka lebih dari sekadar gaji.
 
Jika karyawan yang bekerja di lingkungan dengan IQ tinggi, EQ tinggi, dan MQ tinggi akan lebih produktif sebanyak lima kali di atas rata-rata.
 
Sudah sejak lama riset menunjukkan pentingnya membangun makna bekerja. Sebagaimana Maslow (1943) berpendapat bahwa individu yang tidak merasakan tempat kerja yang bermakna akan cenderung tidak bekerja sesuai dengan kapasitas profesional mereka. Oleh karena itu, orang termotivasi untuk bekerja hanya "ketika" bahwa makna kerja entah bagaimana memuaskan atau ditafsirkan secara positif”. Dengan demikian, karyawan harus menyadari kebutuhan dan harus mengetahui sejauh mana karakteristik pekerjaan dapat memuaskan mereka.
 
Menurut (Chalofsky & Krishna, 2009) konotasi makna kerja adalah intrinsik lebih dalam daripada nilai, termasuk tiga tingkat kepuasan: ekstrinsik, intrinsik, dan bahkan lebih dalam. Baumeister (1991) berpendapat bahwa pencarian makna seseorang didorong oleh empat tujuan yaitu kebutuhan akan tujuan, nilai, efikasi diri, dan harga diri.

Berdasarkan temuan berbagai riset tersebut maka makin mengukuhkan pentingnya membangun meaning dalam bekerja agar gap yang terjadi pada para insan BUMN dapat diminimalisir. Dengan kesadaran organisasi menunjukkan fokus pada area 6 yaitu membangun meaning, maka akan lebih banyak lagi karyawan yang memiliki makna dalam bekerja. Mereka bekerja bersungguh-sungguh penuh keikhlasan, rasa tentram, dan bahagia, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan dan berkontribusi bagi negeri.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA