Kamis, H / 28 Maret 2024

Fluktuasi Nilai Tukar Hantam Industri Farmasi

Kamis 12 Jul 2018 11:14 WIB

Titin Nuryani

farmasi

Foto: pagespeed

Fluktuasi nilai tukar membuat para pelaku industri farmasi harus memutar otak untuk bisa bertahan

ESQNews.id, JAKARTA - Industri farmasi sangat tertekan dengan kondisi nilai tukar rupiah yang fluktuatif, lantaran 95 persen dari komponen bahan baku obat berasal dari impor.

Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi GP Farmasi Indonesia Vincent Harijanto dalam diskusi di Jakarta, Rabu sore (11/7), mengatakan gejolak nilai tukar menjadi perhatian yang sangat dicermati oleh pelaku usaha farmasi karena menyebabkan kesulitan.

“Sebenarnya nilai tukar di angka Rp14 ribu tidak masalah, asalkan stabil tidak naik turun,” ungkap Vincent.

Fluktuasi nilai tukar, menurut dia, membuat para pelaku industri farmasi harus memutar otak untuk bisa bertahan, salah satunya dengan menaikkan harga jual obat. Tidak stabilnya nilai tukar membuat industri harus membayar harga bahan baku lebih mahal karena mayoritas diimpor dari Tiongkok dan India.


Vincent Harijanto


“Tetapi kami masih lebih mengutamakan efisiensi produksi dibandingkan menaikkan harga obat. Karena tidak bagus juga kalau harga obat mahal,” imbuh dia. 

Vincent menambahkan, yang menjadi masalah adalah perusahaan farmasi yang memasok obat untuk BPJS Kesehatan. Menurut dia, dalam kontrak dengan BPJS Kesehatan tidak ada klausul eskalasi harga bila terjadi kondisi pelemahan nilai tukar.

“Ini yang membuat kebingungan. Tapi sejauh ini masih tidak ada hambatan pasokan obat untuk BPJS Kesehatan,” terang Vincent.

Dia juga mengungkapkan strategi lain bagi pelaku industri farmasi untuk bertahan, yakni dengan melakukan hedging nilai tukar yang dipatok di angka tertentu. Dengan catatan, tukas dia, apabila biaya hedging dianggap memungkinkan.

Oleh karena itu, pelaku industri farmasi saat ini mendorong para pemasok bahan baku obat dari luar negeri untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia agar kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari dalam negeri. Dengan begitu, ketergantungan industri pada komponen impor bahan baku bisa ditekan.

Menurut Vincent, sebenarnya pemasok bahan baku sudah berminat untuk berinvestasi di Indonesia sejak 20 tahun lalu karena besarnya pasar yang dimiliki Indonesia. Namun, masih belum ada jaminan fasilitas dan manfaat yang akan didapatkan investor bila berinvestasi bahan baku obat di dalam negeri.

“Adanya insentif tax allowance yang baru dari pemerintah bagi investor bahan baku farmasi menjadi titik terang,” kata Vincent. 

Selain itu, dengan adanya pabrik bahan baku obat di dalam negeri, maka dapat meningkatkan tingkat komponen dalam negeri dalam setiap produk farmasi. Pemerintah, menurut dia, juga perlu mendorong agar bahan baku obat yang dibuat di Indonesia harus dipakai oleh industri farmasi dalam negeri.

“Peran pemerintah mulai tampak dan harus bertambah. Semoga dalam dua-tiga tahun mendatang bisa direalisasi,” ujar Vincent.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA